Eksistensi Hukum Pidana Adat Dalam Prekspektif Pengembangan Hukum Nasional
1. Keberadaan Hukum Pidana Indonesia Adat
Diperiksa dari perspektif normatif, dimensi teoritis, dan praktis dari prinsip-prinsip dasar hukum dan keberadaan hukum pidana adat titik awal keberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 tahun 1951 (LN Nomor 9 tahun 1951). Pada ketentuan sebagaimana disebutkan di atas, bahwa:
"Hukum material sipil dan untuk sementara waktupun hukum pidana substantif berlaku hingga saat ini pegawai negeri kepada hamba-daerah kosong dan orang-orang yang pernah diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku bagi hamba-hamba dan orang dengan pengertian bahwa tindakan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai tindak pidana, tetapi tiada bandingnya dalam KUHP Perdata, itu dianggap dihukum dengan tidak lebih dari tiga bulan penjara dan / atau denda lima ratus dolar, sebagai pengganti hukuman hukuman tradisional dijatuhkan ketika tidak diikuti oleh pihak mengutuk dan penggantian dianggap setara oleh Hakim dari kesalahan dikutuk, bahwa ketika hukuman itu dijatuhkan hakim adat dibayangkan melampaui dia dengan hukuman penjara atau denda yang disebutkan di atas, maka kesalahan terdakwa dapat dihukum pengganti sebagai setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa gagasan adat hukuman, hakim tidak selaras lagi dengan waktu terus diganti seperti yang disebutkan di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum kehidupan harus dianggap sebagai tindak pidana yang tertandingi dalam Kode KUHP Perdata, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan banding hukuman yang paling mirip dengan tindak pidana ".
Ada tiga (3) kesimpulan dasar ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 tahun 1951. Pertama, bahwa tindak pidana adalah custom tertandingi atau ekuivalen dalam KUHP yang tidak dianggap parah atau ringan pelanggaran kepabeanan ancaman pidana ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan dan / atau denda lima ratus dolar (setara untuk kegembiraan jahat), minimal yang diatur dalam Pasal 12 KUHP adalah 1 (satu) hari penjara dan denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Namun, untuk pelanggaran ancaman maksimum berat adat pidana 10 (spuluh) tahun, sebagai pengganti hukuman adat tidak dilakukan oleh terdakwa. Kedua, ada banding pidana tradisional di Kode ancaman pidana Pidana dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP tindak pidana seperti adat Drati Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Perzinahan (Makasar) sebanding dengan kejahatan perzinahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana diatur dalam konteks di atas dapat digunakan sebagai hukuman pokok atau denda besar oleh hakim memeriksa, mengadili, dan memutus bertindak sesuai dengan hukum kehidupan (hukum yang hidup) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya di Pidana pelanggaran kode, sementara tidak ada perbandingan dalam sanksi KUHP harus dikenakan sesuai dengan ketentuan KUHP.
Selain ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 Tahun 1951 berlakunya hukum dasar hukum pidana adat juga mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara eksplisit maupun implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 meletakkan dasar eksistensi hukum pidana tradisional. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menetapkan bahwa, "Keadilan dan Hakim Konstitusi wajib menggali, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat", maka ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa, "Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, tapi wajib untuk memeriksa dan menilai", sesuai dengan ketentuan Pasal 50 ayat (1) menentukan, "" Keputusan pengadilan selain harus mencakup alasan yang cukup untuk keputusan itu, juga mengandung pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang membentuk dasar bagi hakim ".
Pada dasarnya, kalimat, "nilai-nilai hukum hidup dan rasa keadilan dalam masyarakat", "hukum tidak ada atau kurang jelas", "sumber hukum tidak tertulis yang membentuk dasar bagi hakim" mencerminkan baik tersurat maupun tersirat bahwa tradisional hukum pidana keberlakukan juga diatur dalam UU No 48 Tahun 2009.
Selain kebijakan legislatif dari hukum pidana keberlakukan diatur dan dibahas dalam berbagai seminar hukum pidana adat untuk juga diarahkan reformasi hukum pidana nasional. Misalnya, dalam Laporan Nasional Criminal Justice Reform Simposium 1980, antara lain menyatakan, "... upaya reformasi hukum pidana yang didasarkan pada Politik Hukum Pidana dan aspirasi Pidana mencerminkan Politik nasional ... Dalam hubungan ini harus menjadi proses reformasi melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam (antara lain) pada: ... hukum pidana adat dan keagamaan yang hidup dalam masyarakat Indonesia ". Kemudian di VI Hukum Nasional Seminar Laporan 1994 pada titik ditentukan bahwa, "hukum tertulis dan hukum tidak tertulis harus saling melengkapi", dan huruf b menegaskan, "hukum tak tertulis pembentukan yang lebih" luwes "daripada pembentukan hukum tertulis, karena dapat mengatasi kesenjangan antara validitas dan efektivitas hukum ".
Selain itu, keberadaan adat hukum pidana ditataran yurispudensi Mahkamah Agung juga diakui melalui penafsiran sifat hukum substantif terhadap kedua fungsi fungsi positif dan negatif. Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung untuk menerapkan hukum substantif alam terhadap fungsi negatif yang ditetapkan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi dimana Mahkamah Agung membenarkan penghapusan alam melawan hukum karena tiga faktor: negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak membuat keuntungan serta tindakan alam secara umum bisa hilang melawan hukum tidak hanya didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang, tetapi juga didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan atau prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis. Pertimbangan dasar keberadaan hukum yang diakui (pidana) adat disebutkan oleh editorial sebagai berikut:
"Bahwa Mahkamah Agung pada prinsipnya dapat membenarkan pendapat Pengadilan Tinggi, bahwa suatu tindakan dapat hilang pada sifat umum dari pertarungan hukum tidak hanya didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang, tetapi juga didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan atau prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis dan umumnya dianggap sebagai Pengadilan Tinggi dalam kasus penipuan resmi dibuktikan oleh terdakwa. "
Dengan dimensi tolok ukur seperti di atas, maka dengan Effendi Machroes kasus ini muncul dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut prinsip "tort substantif" (Materiile wederrechtelijkheid) di arti negatif. Sementara Mahkamah Agung yurisprudensi yang memegang gugatan fungsi positif yang terkandung dalam materi dalam kasus K/Pid/1983 Keputusan No 275 tanggal 29 Desember 1983 tentang nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa. Pada prinsipnya, yurisprudensi pertimbangan Mahkamah Agung keputusan futuristik dengan penafsiran palsu sudut pandang akal "melawan hukum" dari yudex facti diidentifikasi sebagai "melanggar aturan yang ada sanksi pidana", seperti yang dinyatakan oleh redaksi berikut:
"Menimbang bahwa, menurut penafsiran Mahkamah Agung istilah" melanggar hukum "tidak tepat, jika hanya dihubungkan dengan kebijakan kredit direksi menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar hukum yang ada sanksi pidana, tetapi menurut pendapat yang telah dikembangkan dalam yurisprudensi, seharusnya hal itu diukur berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis, dan prinsip-prinsip yang bersifat umum sesuai dengan kesusilaan dalam masyarakat. "
Konkretisasi dan pengakuan keberadaan rinci kesimpulan hukum pidana adat yang baik dalam undang-undang dan peraturan, forum ilmiah, pendapat doktrin dan yurisprudensi Mahkamah Agung.
2. Prinsip Legalitas Bahan Dalam National Criminal Justice Reform
Pada dasarnya asas legalitas juga sering disebut dengan istilah "asas legalitas", "legaliteitbeginsel", "non-retroaktif", "de la legalite" atau "ex post facto hukum". Asas legalitas adalah prinsip yang paling penting dalam hukum pidana sebagai diucapkan oleh Dupont. [12] Dikaji dari perspektif hukum positif (ius constitutum) asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan prinsip legalitas formal. Dalam RUU KUHP, dikaji dari perspektif asas legalitas constituendum ius baik legalitas formal dan legalitas bahan diatur dalam Pasal 1 RUU KUHP tahun 2008 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Tidak ada yang bisa dipenjarakan atau dikenakan tindakan apapun, kecuali tindakan yang diambil telah didefinisikan sebagai sebuah kejahatan di bawah hukum yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menentukan keberadaan kejahatan dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Tanpa mengurangi hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang tidak boleh dihukum bahkan jika perbuatan itu diatur dalam undang-undang.
(4) Penerapan hidup dalam masyarakat hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa secara umum.
Kemudian, bab demi bab penjelasan ketentuan Pasal 1 RUU KUHP rincian sebagai berikut:
Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Prinsip ini menentukan bahwa suatu tindakan adalah kejahatan hanya jika diresepkan oleh atau berdasarkan hukum. Bekerja prinsip Oleh karena itu, asas legalitas merupakan prinsip dasar dalam hukum pidana. Oleh karena itu undang-undang yang mengandung sanksi pidana atau pidana harus sudah ada sebelum mereka berkomitmen. Ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut untuk mencegah kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum menuntut dan mengadili orang yang dituduh melakukan kejahatan.
Ayat (2)
Melarang penggunaan analogi dalam menentukan interpretasi aktivitas kriminal merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Interpretasi berarti bahwa analogi suatu perbuatan yang pada waktu itu bukan tindak pidana, tetapi diterapkan terhadap ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua tindakan dianggap analog dengan satu sama lain. Dengan larangan penggunaan analogi ditegaskannnya ketidaksepakatan yang muncul dalam praktek selama ini bisa dihilangkan.
Ayat (3)
Ini adalah fakta bahwa di beberapa bagian Indonesia ada hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berfungsi sebagai hukum di daerah. Hal-hal seperti juga dalam bidang hukum pidana yang biasanya disebut oleh kebiasaan pelanggaran. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat untuk berlakunya hukum pidana adat, maka akan pengaturan secara eksplisit dalam Kode Hukum Pidana. Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari prinsip bahwa ketentuan pidana diatur dalam undang-undang. Dia mengakui pelanggaran untuk lebih memenuhi rasa keadilan adat yang hidup dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau pedoman dalam menentukan hukum materiil sumber (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat digunakan sebagai sumber hukum (legalitas bahan sumber). Pedoman dalam ayat ini nilai nasional dan internasional berorientasi.
Ada beberapa catatan substansial adanya asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 RUU KUHP. Pertama, asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP adalah prinsip legalitas RUU yang memperluas keberadaan dikenal asas legalitas formal dan asas legalitas bahan. Dalam rancangan KUHP asas legalitas formal yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sedangkan asas legalitas substantif yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3). Pada asas legalitas formal, dasar harus suatu perbuatan hukum dihukum yang ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Maka prinsip legalitas bahan menentukan bahwa dasar harus sebuah tindakan hukum dihukum hidup dalam masyarakat yang bukan hukum tertulis atau hukum adat. Kedua, dalam rangka membangun tindak pidana dilarang menggunakan analogi (Pasal 1 (2) RUU KUHP). Penjelasan untuk Pasal Pasal Pasal 1 ayat (2) KUHP Bill menyatakan bahwa, "melarang penggunaan analogi dalam menentukan interpretasi aktivitas kriminal merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Interpretasi berarti bahwa analogi ke bertindak yang pada saat itu bukan tindak pidana, tetapi diterapkan terhadap ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua tindakan dianggap analog dengan satu sama lain. Dengan larangan penggunaan analogi menekankan perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek sejauh dapat dihilangkan ". Dalam analogi penafsiran sifat kepustakan hukum dimaksudkan jika suatu tindakan pada saat itu bukan merupakan tindak pidana, kemudian diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk kejahatan lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang mirip dengan tindakan, sehingga bahwa tindakan kedua dianggap analog dengan satu sama lain. Andi Hamzah mengatakan bentuk menjadi dua gesetz analogi analogi analogi perbuatan yang sama tidak terdapat dalam ketentuan pidana, dan recht analogi analogi dengan tindakan yang memiliki beberapa kesamaan dengan perbuatan yang dilarang berdasarkan ketentuan hukum pidana. Herman Mannheim menunjukkan adanya dua macam analogi. Pertama, analogi undag-undang atau gesetzes Analogie. Kedua, hukum atau analogi rechtsanalogie. Dalam penerapan hukum pidana yang memungkinkan analogi analogi hukum dan bukan hukum analogi. Namun demikian, sulit untuk membedakan antara analogi dan hukum undang analogi. [13] M. Cherif Bassiouni, ada tiga kategori analogi dibagi. Pertama, analogi untuk membuat tindak pidana baru telah diduga tapi tidak didefinisikan oleh pembuat hukum. Kedua, analogi diterapkan ketika suara undang-undang ini tidak cukup jelas atau gagal untuk merumuskan unsur-unsur tindak pidana. Ketiga, analogi ini tidak berlaku untuk hukuman didifinisikan oleh legislator. Pada sistem dengan pendekatan positivisme yang ketat, asas legalitas memungkinkan analogi untuk penuntutan pidana, jika mereka masih dalam batas-batas yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang. Namun, sistem hukum untuk menerapkan asas legalitas yang sangat ketat, penggunaan analogi sepenuhnya dilarang, dengan aturan klausul yang diberikan mendukung Reo. Artinya, hakim telah memutuskan bahwa meringankan terdakwa. [14]
Pada intinya, penerapan penafsiran analogi dalam hukum pidana menimbulkan perdebatan panjang. Ada kelompok yang menerima analogi, kelompok yang menentang penafsiran analogi dan ada kelompok yang tidak secara tegas menolak dan menerima analogi. Grup menyetujui penerapan argumen analogi untuk pengembangan masyarakat yang relatif cepat sehingga hukum pidana harus berkembang dengan perkembangan masyarakat. Sebagian besar negara Eropa melarang penggunaan analogi, dengan pengecualian Denmark dan Inggris yang memungkinkan penerapan analogi. Kemudian kelompok yang menentang aplikasi karena aplikasi penafsiran analogi analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Taverne, Roling, Pompe dan Jonkers menerima penerapan analogi dan Scholten, van Hattum, van Bemmelen, Moeljatno dan Jan Remmelink menentang penerapan analogi dalam hukum pidana dan Hazewinkel Suringa dan Vos tidak tegas menolak dan menerima analogi. Dalam praktik peradilan, pada tahun 1921 penerapan penafsiran analogi diterapkan dalam kasus pencurian listrik dengan memperluas definisi "barang" (goed) termasuk listrik. Praktek peradilan Indonesia melalui Pengadilan Tinggi Keputusan No 144/Pid/1983/PT Medan. Mdn telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas pengertian benda serta "keperawanan seorang wanita".
Selanjutnya Eddy O.S. Hiariej mengatakan bahwa ketentuan mengenai larangan menerapkan analogi adalah interminis kontradiksi bila dihubungkan dengan ayat (3) di mana seseorang dapat dihukum bahkan jika tindakannya tidak diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, untuk mengkriminalisasi tindakan yang tidak diatur dalam undang-undang, seperti itu atau tidak, hakim harus menggunakan analogi atau setidaknya penafsiran ekstensif. Bahkan, ada dasarnya ada perbedaan prinsip antara penafsiran ekstensif dengan analogi. [15] Ketiga, prinsip legalitas resmi dalam Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat diterapkan mutlak / absolut atau imperatif karena pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP . Keberadaan dan konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 (3) RUU KUHP menjelaskan bahwa, "itu adalah fakta bahwa pada bagian tertentu dari Indonesia ada hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berfungsi sebagai hukum di daerah. Tersebut hal yang juga dalam bidang hukum pidana yang biasanya disebut oleh bea cukai pelanggaran. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat untuk berlakunya hukum pidana adat, maka akan pengaturan secara eksplisit dalam Kode Hukum Pidana. Ketentuan ayat ini adalah pengecualian terhadap prinsip bahwa ketentuan pidana diatur dalam undang-undang. Dia mengakui pelanggaran untuk lebih memenuhi rasa keadilan adat yang hidup dalam masyarakat tertentu ".
Kesimpulan dasar ketentuan Pasal 1 (3) RUU KUHP dengan pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan hukum tidak tertulis bahwa konsekuensi logis dari RUU KUHP pembentuk menarik hukum tidak tertulis dalam hukum formal. Implikasi aspek penegakan hukum yang membuat hidup di masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui sub-sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dimengerti karena polarisasi pemikiran membentuk Pidana Bill Kode 2008 dimulai dari monodualistik keseimbangan prinsip keseimbangan antara kepentingan / perlindungan individu (prinsip prinsip pribadi / culpabilitas) dengan manfaat / perlindungan (prinsip sipil) publik, keseimbangan antara formal dan material kretaria, dan keseimbangan antara aturan hukum dengan keadilan. Nilai / ide keseimbangan dalam RUU KUHP diikuti dalam menentukan apakah kejahatan selalu melawan hukum dianutnya sifat material yang melanggar hukum. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU KUHP menentukan, "untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, di samping tindakan dilarang dan dikenai sanksi hukum dan peraturan, juga akan melanggar hukum atau bertentangan dengan kesadaran masyarakat" dan ayat ( 3) menyatakan bahwa, "setiap tindak pidana selalu dianggap melawan hukum, kecuali ada pembenaran". Polarisasi legislator berpikir dalam menentukan keselarasan mungkin akan bertanggung jawab harus memperhatikan perasaan hidup dalam masyarakat hukum. Kesimpulan, bertindak tidak hanya akan bertentangan dengan hukum dan peraturan, tetapi juga akan selalu melawan hukum. Tindakan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dianggap oleh publik sebagai tindakan yang tidak layak dilakukan. Bertentangan dengan ketentuan hukum yang menentukan, berdasarkan pertimbangan bahwa seseorang narapidana yang melakukan tindakan yang tidak adil melanggar hukum. Oleh karena itu, untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim harus menentukan apakah tindakan selain transaksi dilakukan secara formal dilarang oleh undang-undang dan apakah tindakan ini juga bertentangan dengan hukum material, dalam hal kesadaran masyarakat . Ini adalah wajib untuk dipertimbangkan dalam keputusan. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP mengimbangi ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP. Sebenarnya, prinsip legalitas formal yang diimbangi dengan ketentuan asas legalitas bahan.
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 (4) dari RUU KUHP dijelaskan aturan hukum yang hidup dalam masyarakat di sepanjang garis dengan nilai-nilai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa secara umum. Artikel ini kemudian menyebutkan penjelasan itu, "ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau pedoman dalam menentukan hukum materiil sumber (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat digunakan sebagai sumber hukum (legalitas bahan sumber). Pedoman ini ayat nasional berorientasi dan nilai internasional. "Pada dasarnya, pedoman dalam ayat ini nilai nasional dan internasional berorientasi. Bila diterjemahkan, aspek ini sesuai dengan nilai-nilai nasional (Pancasila) berarti sesuai dengan nilai-nilai / paradigma moral religius, nilai / paradigma kemanusiaan / humanis, nilai / paradigma kebangsaan, nilai / paradigma demokrasi ( demokrasi) dan nilai / paradigma keadilan sosial. Kemudian tanda-tanda yang berbunyi, "sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa berakar pada" Prinsip umum hukum Diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa "yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik). Adanya tanda-tanda, hukum yang hidup (hukum pidana adat) mendapat landasan untuk dihakimi dan sanksi adat setempat yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan adalah nilai yang sesuai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum umum diakui oleh masyarakat internasional. Keempat, pembatasan formal yang tidak menerapkan asas legalitas secara absolut dan keseimbangan polarisasi pemikiran RUU monodualistik membentuk juga secara implisit mengadopsi KUHP bertentangan dengan ajaran hukum substantif dalam fungsi positif. Dalam literatur fiqih dan praktek peradilan terhadap ajaran sifat hukum substantif dalam fungsi positif berarti bahwa bahkan jika suatu tindakan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hakim dapat memvonis ketika perbuatan tersebut dianggap tercela , bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.
Diperiksa dari perspektif normatif, dimensi teoritis, dan praktis dari prinsip-prinsip dasar hukum dan keberadaan hukum pidana adat titik awal keberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 tahun 1951 (LN Nomor 9 tahun 1951). Pada ketentuan sebagaimana disebutkan di atas, bahwa:
"Hukum material sipil dan untuk sementara waktupun hukum pidana substantif berlaku hingga saat ini pegawai negeri kepada hamba-daerah kosong dan orang-orang yang pernah diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku bagi hamba-hamba dan orang dengan pengertian bahwa tindakan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai tindak pidana, tetapi tiada bandingnya dalam KUHP Perdata, itu dianggap dihukum dengan tidak lebih dari tiga bulan penjara dan / atau denda lima ratus dolar, sebagai pengganti hukuman hukuman tradisional dijatuhkan ketika tidak diikuti oleh pihak mengutuk dan penggantian dianggap setara oleh Hakim dari kesalahan dikutuk, bahwa ketika hukuman itu dijatuhkan hakim adat dibayangkan melampaui dia dengan hukuman penjara atau denda yang disebutkan di atas, maka kesalahan terdakwa dapat dihukum pengganti sebagai setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa gagasan adat hukuman, hakim tidak selaras lagi dengan waktu terus diganti seperti yang disebutkan di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum kehidupan harus dianggap sebagai tindak pidana yang tertandingi dalam Kode KUHP Perdata, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan banding hukuman yang paling mirip dengan tindak pidana ".
Ada tiga (3) kesimpulan dasar ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 tahun 1951. Pertama, bahwa tindak pidana adalah custom tertandingi atau ekuivalen dalam KUHP yang tidak dianggap parah atau ringan pelanggaran kepabeanan ancaman pidana ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan dan / atau denda lima ratus dolar (setara untuk kegembiraan jahat), minimal yang diatur dalam Pasal 12 KUHP adalah 1 (satu) hari penjara dan denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Namun, untuk pelanggaran ancaman maksimum berat adat pidana 10 (spuluh) tahun, sebagai pengganti hukuman adat tidak dilakukan oleh terdakwa. Kedua, ada banding pidana tradisional di Kode ancaman pidana Pidana dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP tindak pidana seperti adat Drati Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Perzinahan (Makasar) sebanding dengan kejahatan perzinahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana diatur dalam konteks di atas dapat digunakan sebagai hukuman pokok atau denda besar oleh hakim memeriksa, mengadili, dan memutus bertindak sesuai dengan hukum kehidupan (hukum yang hidup) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya di Pidana pelanggaran kode, sementara tidak ada perbandingan dalam sanksi KUHP harus dikenakan sesuai dengan ketentuan KUHP.
Selain ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 Tahun 1951 berlakunya hukum dasar hukum pidana adat juga mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara eksplisit maupun implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 meletakkan dasar eksistensi hukum pidana tradisional. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menetapkan bahwa, "Keadilan dan Hakim Konstitusi wajib menggali, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat", maka ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa, "Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, tapi wajib untuk memeriksa dan menilai", sesuai dengan ketentuan Pasal 50 ayat (1) menentukan, "" Keputusan pengadilan selain harus mencakup alasan yang cukup untuk keputusan itu, juga mengandung pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang membentuk dasar bagi hakim ".
Pada dasarnya, kalimat, "nilai-nilai hukum hidup dan rasa keadilan dalam masyarakat", "hukum tidak ada atau kurang jelas", "sumber hukum tidak tertulis yang membentuk dasar bagi hakim" mencerminkan baik tersurat maupun tersirat bahwa tradisional hukum pidana keberlakukan juga diatur dalam UU No 48 Tahun 2009.
Selain kebijakan legislatif dari hukum pidana keberlakukan diatur dan dibahas dalam berbagai seminar hukum pidana adat untuk juga diarahkan reformasi hukum pidana nasional. Misalnya, dalam Laporan Nasional Criminal Justice Reform Simposium 1980, antara lain menyatakan, "... upaya reformasi hukum pidana yang didasarkan pada Politik Hukum Pidana dan aspirasi Pidana mencerminkan Politik nasional ... Dalam hubungan ini harus menjadi proses reformasi melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam (antara lain) pada: ... hukum pidana adat dan keagamaan yang hidup dalam masyarakat Indonesia ". Kemudian di VI Hukum Nasional Seminar Laporan 1994 pada titik ditentukan bahwa, "hukum tertulis dan hukum tidak tertulis harus saling melengkapi", dan huruf b menegaskan, "hukum tak tertulis pembentukan yang lebih" luwes "daripada pembentukan hukum tertulis, karena dapat mengatasi kesenjangan antara validitas dan efektivitas hukum ".
Selain itu, keberadaan adat hukum pidana ditataran yurispudensi Mahkamah Agung juga diakui melalui penafsiran sifat hukum substantif terhadap kedua fungsi fungsi positif dan negatif. Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung untuk menerapkan hukum substantif alam terhadap fungsi negatif yang ditetapkan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi dimana Mahkamah Agung membenarkan penghapusan alam melawan hukum karena tiga faktor: negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak membuat keuntungan serta tindakan alam secara umum bisa hilang melawan hukum tidak hanya didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang, tetapi juga didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan atau prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis. Pertimbangan dasar keberadaan hukum yang diakui (pidana) adat disebutkan oleh editorial sebagai berikut:
"Bahwa Mahkamah Agung pada prinsipnya dapat membenarkan pendapat Pengadilan Tinggi, bahwa suatu tindakan dapat hilang pada sifat umum dari pertarungan hukum tidak hanya didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang, tetapi juga didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan atau prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis dan umumnya dianggap sebagai Pengadilan Tinggi dalam kasus penipuan resmi dibuktikan oleh terdakwa. "
Dengan dimensi tolok ukur seperti di atas, maka dengan Effendi Machroes kasus ini muncul dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut prinsip "tort substantif" (Materiile wederrechtelijkheid) di arti negatif. Sementara Mahkamah Agung yurisprudensi yang memegang gugatan fungsi positif yang terkandung dalam materi dalam kasus K/Pid/1983 Keputusan No 275 tanggal 29 Desember 1983 tentang nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa. Pada prinsipnya, yurisprudensi pertimbangan Mahkamah Agung keputusan futuristik dengan penafsiran palsu sudut pandang akal "melawan hukum" dari yudex facti diidentifikasi sebagai "melanggar aturan yang ada sanksi pidana", seperti yang dinyatakan oleh redaksi berikut:
"Menimbang bahwa, menurut penafsiran Mahkamah Agung istilah" melanggar hukum "tidak tepat, jika hanya dihubungkan dengan kebijakan kredit direksi menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar hukum yang ada sanksi pidana, tetapi menurut pendapat yang telah dikembangkan dalam yurisprudensi, seharusnya hal itu diukur berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis, dan prinsip-prinsip yang bersifat umum sesuai dengan kesusilaan dalam masyarakat. "
Konkretisasi dan pengakuan keberadaan rinci kesimpulan hukum pidana adat yang baik dalam undang-undang dan peraturan, forum ilmiah, pendapat doktrin dan yurisprudensi Mahkamah Agung.
2. Prinsip Legalitas Bahan Dalam National Criminal Justice Reform
Pada dasarnya asas legalitas juga sering disebut dengan istilah "asas legalitas", "legaliteitbeginsel", "non-retroaktif", "de la legalite" atau "ex post facto hukum". Asas legalitas adalah prinsip yang paling penting dalam hukum pidana sebagai diucapkan oleh Dupont. [12] Dikaji dari perspektif hukum positif (ius constitutum) asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan prinsip legalitas formal. Dalam RUU KUHP, dikaji dari perspektif asas legalitas constituendum ius baik legalitas formal dan legalitas bahan diatur dalam Pasal 1 RUU KUHP tahun 2008 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Tidak ada yang bisa dipenjarakan atau dikenakan tindakan apapun, kecuali tindakan yang diambil telah didefinisikan sebagai sebuah kejahatan di bawah hukum yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menentukan keberadaan kejahatan dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Tanpa mengurangi hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang tidak boleh dihukum bahkan jika perbuatan itu diatur dalam undang-undang.
(4) Penerapan hidup dalam masyarakat hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa secara umum.
Kemudian, bab demi bab penjelasan ketentuan Pasal 1 RUU KUHP rincian sebagai berikut:
Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Prinsip ini menentukan bahwa suatu tindakan adalah kejahatan hanya jika diresepkan oleh atau berdasarkan hukum. Bekerja prinsip Oleh karena itu, asas legalitas merupakan prinsip dasar dalam hukum pidana. Oleh karena itu undang-undang yang mengandung sanksi pidana atau pidana harus sudah ada sebelum mereka berkomitmen. Ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut untuk mencegah kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum menuntut dan mengadili orang yang dituduh melakukan kejahatan.
Ayat (2)
Melarang penggunaan analogi dalam menentukan interpretasi aktivitas kriminal merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Interpretasi berarti bahwa analogi suatu perbuatan yang pada waktu itu bukan tindak pidana, tetapi diterapkan terhadap ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua tindakan dianggap analog dengan satu sama lain. Dengan larangan penggunaan analogi ditegaskannnya ketidaksepakatan yang muncul dalam praktek selama ini bisa dihilangkan.
Ayat (3)
Ini adalah fakta bahwa di beberapa bagian Indonesia ada hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berfungsi sebagai hukum di daerah. Hal-hal seperti juga dalam bidang hukum pidana yang biasanya disebut oleh kebiasaan pelanggaran. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat untuk berlakunya hukum pidana adat, maka akan pengaturan secara eksplisit dalam Kode Hukum Pidana. Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari prinsip bahwa ketentuan pidana diatur dalam undang-undang. Dia mengakui pelanggaran untuk lebih memenuhi rasa keadilan adat yang hidup dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau pedoman dalam menentukan hukum materiil sumber (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat digunakan sebagai sumber hukum (legalitas bahan sumber). Pedoman dalam ayat ini nilai nasional dan internasional berorientasi.
Ada beberapa catatan substansial adanya asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 RUU KUHP. Pertama, asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP adalah prinsip legalitas RUU yang memperluas keberadaan dikenal asas legalitas formal dan asas legalitas bahan. Dalam rancangan KUHP asas legalitas formal yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sedangkan asas legalitas substantif yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3). Pada asas legalitas formal, dasar harus suatu perbuatan hukum dihukum yang ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Maka prinsip legalitas bahan menentukan bahwa dasar harus sebuah tindakan hukum dihukum hidup dalam masyarakat yang bukan hukum tertulis atau hukum adat. Kedua, dalam rangka membangun tindak pidana dilarang menggunakan analogi (Pasal 1 (2) RUU KUHP). Penjelasan untuk Pasal Pasal Pasal 1 ayat (2) KUHP Bill menyatakan bahwa, "melarang penggunaan analogi dalam menentukan interpretasi aktivitas kriminal merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Interpretasi berarti bahwa analogi ke bertindak yang pada saat itu bukan tindak pidana, tetapi diterapkan terhadap ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua tindakan dianggap analog dengan satu sama lain. Dengan larangan penggunaan analogi menekankan perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek sejauh dapat dihilangkan ". Dalam analogi penafsiran sifat kepustakan hukum dimaksudkan jika suatu tindakan pada saat itu bukan merupakan tindak pidana, kemudian diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk kejahatan lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang mirip dengan tindakan, sehingga bahwa tindakan kedua dianggap analog dengan satu sama lain. Andi Hamzah mengatakan bentuk menjadi dua gesetz analogi analogi analogi perbuatan yang sama tidak terdapat dalam ketentuan pidana, dan recht analogi analogi dengan tindakan yang memiliki beberapa kesamaan dengan perbuatan yang dilarang berdasarkan ketentuan hukum pidana. Herman Mannheim menunjukkan adanya dua macam analogi. Pertama, analogi undag-undang atau gesetzes Analogie. Kedua, hukum atau analogi rechtsanalogie. Dalam penerapan hukum pidana yang memungkinkan analogi analogi hukum dan bukan hukum analogi. Namun demikian, sulit untuk membedakan antara analogi dan hukum undang analogi. [13] M. Cherif Bassiouni, ada tiga kategori analogi dibagi. Pertama, analogi untuk membuat tindak pidana baru telah diduga tapi tidak didefinisikan oleh pembuat hukum. Kedua, analogi diterapkan ketika suara undang-undang ini tidak cukup jelas atau gagal untuk merumuskan unsur-unsur tindak pidana. Ketiga, analogi ini tidak berlaku untuk hukuman didifinisikan oleh legislator. Pada sistem dengan pendekatan positivisme yang ketat, asas legalitas memungkinkan analogi untuk penuntutan pidana, jika mereka masih dalam batas-batas yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang. Namun, sistem hukum untuk menerapkan asas legalitas yang sangat ketat, penggunaan analogi sepenuhnya dilarang, dengan aturan klausul yang diberikan mendukung Reo. Artinya, hakim telah memutuskan bahwa meringankan terdakwa. [14]
Pada intinya, penerapan penafsiran analogi dalam hukum pidana menimbulkan perdebatan panjang. Ada kelompok yang menerima analogi, kelompok yang menentang penafsiran analogi dan ada kelompok yang tidak secara tegas menolak dan menerima analogi. Grup menyetujui penerapan argumen analogi untuk pengembangan masyarakat yang relatif cepat sehingga hukum pidana harus berkembang dengan perkembangan masyarakat. Sebagian besar negara Eropa melarang penggunaan analogi, dengan pengecualian Denmark dan Inggris yang memungkinkan penerapan analogi. Kemudian kelompok yang menentang aplikasi karena aplikasi penafsiran analogi analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Taverne, Roling, Pompe dan Jonkers menerima penerapan analogi dan Scholten, van Hattum, van Bemmelen, Moeljatno dan Jan Remmelink menentang penerapan analogi dalam hukum pidana dan Hazewinkel Suringa dan Vos tidak tegas menolak dan menerima analogi. Dalam praktik peradilan, pada tahun 1921 penerapan penafsiran analogi diterapkan dalam kasus pencurian listrik dengan memperluas definisi "barang" (goed) termasuk listrik. Praktek peradilan Indonesia melalui Pengadilan Tinggi Keputusan No 144/Pid/1983/PT Medan. Mdn telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas pengertian benda serta "keperawanan seorang wanita".
Selanjutnya Eddy O.S. Hiariej mengatakan bahwa ketentuan mengenai larangan menerapkan analogi adalah interminis kontradiksi bila dihubungkan dengan ayat (3) di mana seseorang dapat dihukum bahkan jika tindakannya tidak diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, untuk mengkriminalisasi tindakan yang tidak diatur dalam undang-undang, seperti itu atau tidak, hakim harus menggunakan analogi atau setidaknya penafsiran ekstensif. Bahkan, ada dasarnya ada perbedaan prinsip antara penafsiran ekstensif dengan analogi. [15] Ketiga, prinsip legalitas resmi dalam Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat diterapkan mutlak / absolut atau imperatif karena pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP . Keberadaan dan konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 (3) RUU KUHP menjelaskan bahwa, "itu adalah fakta bahwa pada bagian tertentu dari Indonesia ada hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berfungsi sebagai hukum di daerah. Tersebut hal yang juga dalam bidang hukum pidana yang biasanya disebut oleh bea cukai pelanggaran. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat untuk berlakunya hukum pidana adat, maka akan pengaturan secara eksplisit dalam Kode Hukum Pidana. Ketentuan ayat ini adalah pengecualian terhadap prinsip bahwa ketentuan pidana diatur dalam undang-undang. Dia mengakui pelanggaran untuk lebih memenuhi rasa keadilan adat yang hidup dalam masyarakat tertentu ".
Kesimpulan dasar ketentuan Pasal 1 (3) RUU KUHP dengan pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan hukum tidak tertulis bahwa konsekuensi logis dari RUU KUHP pembentuk menarik hukum tidak tertulis dalam hukum formal. Implikasi aspek penegakan hukum yang membuat hidup di masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui sub-sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dimengerti karena polarisasi pemikiran membentuk Pidana Bill Kode 2008 dimulai dari monodualistik keseimbangan prinsip keseimbangan antara kepentingan / perlindungan individu (prinsip prinsip pribadi / culpabilitas) dengan manfaat / perlindungan (prinsip sipil) publik, keseimbangan antara formal dan material kretaria, dan keseimbangan antara aturan hukum dengan keadilan. Nilai / ide keseimbangan dalam RUU KUHP diikuti dalam menentukan apakah kejahatan selalu melawan hukum dianutnya sifat material yang melanggar hukum. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU KUHP menentukan, "untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, di samping tindakan dilarang dan dikenai sanksi hukum dan peraturan, juga akan melanggar hukum atau bertentangan dengan kesadaran masyarakat" dan ayat ( 3) menyatakan bahwa, "setiap tindak pidana selalu dianggap melawan hukum, kecuali ada pembenaran". Polarisasi legislator berpikir dalam menentukan keselarasan mungkin akan bertanggung jawab harus memperhatikan perasaan hidup dalam masyarakat hukum. Kesimpulan, bertindak tidak hanya akan bertentangan dengan hukum dan peraturan, tetapi juga akan selalu melawan hukum. Tindakan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dianggap oleh publik sebagai tindakan yang tidak layak dilakukan. Bertentangan dengan ketentuan hukum yang menentukan, berdasarkan pertimbangan bahwa seseorang narapidana yang melakukan tindakan yang tidak adil melanggar hukum. Oleh karena itu, untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim harus menentukan apakah tindakan selain transaksi dilakukan secara formal dilarang oleh undang-undang dan apakah tindakan ini juga bertentangan dengan hukum material, dalam hal kesadaran masyarakat . Ini adalah wajib untuk dipertimbangkan dalam keputusan. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP mengimbangi ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP. Sebenarnya, prinsip legalitas formal yang diimbangi dengan ketentuan asas legalitas bahan.
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 (4) dari RUU KUHP dijelaskan aturan hukum yang hidup dalam masyarakat di sepanjang garis dengan nilai-nilai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa secara umum. Artikel ini kemudian menyebutkan penjelasan itu, "ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau pedoman dalam menentukan hukum materiil sumber (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat digunakan sebagai sumber hukum (legalitas bahan sumber). Pedoman ini ayat nasional berorientasi dan nilai internasional. "Pada dasarnya, pedoman dalam ayat ini nilai nasional dan internasional berorientasi. Bila diterjemahkan, aspek ini sesuai dengan nilai-nilai nasional (Pancasila) berarti sesuai dengan nilai-nilai / paradigma moral religius, nilai / paradigma kemanusiaan / humanis, nilai / paradigma kebangsaan, nilai / paradigma demokrasi ( demokrasi) dan nilai / paradigma keadilan sosial. Kemudian tanda-tanda yang berbunyi, "sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa berakar pada" Prinsip umum hukum Diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa "yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik). Adanya tanda-tanda, hukum yang hidup (hukum pidana adat) mendapat landasan untuk dihakimi dan sanksi adat setempat yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan adalah nilai yang sesuai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum umum diakui oleh masyarakat internasional. Keempat, pembatasan formal yang tidak menerapkan asas legalitas secara absolut dan keseimbangan polarisasi pemikiran RUU monodualistik membentuk juga secara implisit mengadopsi KUHP bertentangan dengan ajaran hukum substantif dalam fungsi positif. Dalam literatur fiqih dan praktek peradilan terhadap ajaran sifat hukum substantif dalam fungsi positif berarti bahwa bahkan jika suatu tindakan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hakim dapat memvonis ketika perbuatan tersebut dianggap tercela , bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar