Tampilkan postingan dengan label Pidana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pidana. Tampilkan semua postingan

Tugas Dan Kewenangan Hakim

Dewasa ini praktek peradilan menjadi sorotan bagi khalayak banyak dikarenakan masyarakat menilai banyak kesenjangan dalam pengambilan putusa hakim terhadap pelaku tindak pidana yang menyebabkan timbul pandagan yang beragam dari masyarakat, ada yang menyebut hukum tidak adil, hukum sangat memihak (hanya untuk orang yang beruang/ mempunyai kedudukan) dan lain sebagainya.

Semua putusan yang diambil akaha itu benar atau salah, adil maupun tidak adil berada di tangan hakim. Dalam buku besar bahasa indonesia Hakim adalah orang yang mengadili perkara (dalam pengadilan/ mahkamah agung), istilah hakim (dalam bahasa arab) merupakan asal kata dari hakima yang artinya aturan/ peraturan, kekuasaan, pemerintah. Sedangkan dikutup dari Pasal 1 Ayat 5 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim adalah hakim pada mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup peradilan umun, lingkungan peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan hakin pada pengadilan khususyang berada dalam lingkup peradilan tersebut. 

 Jadi secara garis basar dapat ditarik kesimpulan bahwa hakim adalah aparat penegak hukun/ pejabat peradilan negara yang di berikan kewenangan menurut undang-undang untuk meminpin jalannya persidangan, pengadili ataupu memutuska suatu perkara.

Hakim pada dasarnya adalah orang yang menjunjung tinggi hukum indonesia untuk mencapai penegakan keadilan, agar orang yang bersalah dapat dihukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Namun, dalam menjalankan kewajibannya hakim tidak boleh menokan untuk menerima, memeriksa dan memutuskan suatu perkara dan tetap menggunakan asas bebas, jujur dan tidak memihak ke siapapun dalam hal ini tetap merujuk kepada peraturan undang-undang yang berlaku. Hakim pun tidak boleh menolah suatu perkara dengan alasan tidak ada aturan hukum yang mengaturnya ataupun aturan hukum kuran jelas, karena hakim dianggaporang yang tahu tentang atran hukum (curialus Novit). Maka dari itulah hakim diwajibkan untuk menggali kasus tersebut dengan ilmu hukumnya, dan jika diketahui bahwa perkara tersebut aturan hukumnya ternyata kurang jelas hakim diwajibkan untuk melakukan penafsiran hukum dengan pertimbangan hakim harus menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang berlaku dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat untuk mempertimbangkan berat dan ringannya pidana berdasarkan sifat baik dan jahat terdakwa, karena hakim harus memegang teguh asas “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dan harus menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.  

Untuk menjatuhkan hukuman pada terdakwa, hakim harus berlandaskan kepada surat pelimpahan perkara yang berisi keseluruhan dari dakwaan dan kesalahan terdakwa. Kemudian hakim dalam mengambil keputusan bersalah ataupun tidaknya tersangka tidak terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan persidangan. Hal ini bisa dibuktikan dengan apa yang biasa kita lihat pada sidah pengadilan dimana kadang memerlikan waktu berminggu-minggu sampai dengan berbulal-bulan ataupun bisa sampai dengan 1 tahun barulah 1 perkara itu terselesaikan karena hakim dalam menjalankan tugasnya dan untuk mengambil putusan harus berdasarkan pula kepada keterangan saksi, barang bukti, keterangan terdakwa/ ahli dan fakta-fakta yang terungkap pada saat persidangan berjalan serta . 

Sejalan dengan tugas dan kewenangan hakim  seperti yang ada diatas, yaitu kemampuan hakim dalam membuat putusan yang dapat di terima oleh masyarakat. Oleh karena itu dan berdasarka hal-lah yangsudah tertera diatas maka hakim bisa menjatuhkan putusan dengan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya tanpa ada paksaan dan interpensi dari pihak manapun.

Sumber:
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Semoga Bermanfaat....
Terima Kasih.

TATA TERTIB LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA

  • Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
  • Rumah Tahanan Negara yang selanjutnya disebut Rutan adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadila
                                                      KEWAJIBAN DAN LARANGAN
                                                                             Pasal 3
Setiap Narapidana atau Tahanan wajib:
1.  taat menjalankan ibadah sesuai agama dan/atau kepercayaan yang dianutnya serta memelihara kerukunan beragama;
2.  mengikuti seluruh kegiatan yang diprogramkan;
3.  patuh, taat, dan hormat kepada Petugas;
4.  mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan;
5.  memelihara kerapihan dan berpakaian sesuai dengan norma kesopanan;
6.  menjaga kebersihan diri dan lingkungan hunian serta mengikuti kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka kebersihan lingkungan hunian; dan
7.  mengikuti apel kamar yang dilaksanakan oleh PetugasPemasyarakatan.                                                                               Pasal 4
Setiap Narapidana atau Tahanan dilarang:
1.  mempunyai hubungan keuangan dengan Narapidana atau Tahanan lain maupun dengan Petugas Pemasyarakatan;
2.  melakukan perbuatan asusila dan/atau penyimpangan seksual;
3.  melakukan upaya melarikan diri atau membantu pelarian;
4.  memasuki Steril Area atau tempat tertentu yang ditetapkan Kepala Lapas atau Rutan tanpa izin dari Petugas pemasyarakatan yang berwenang;
5.  melawan atau menghalangi Petugas Pemasyarakatandalam menjalankan tugas;
6.  membawa dan/atau menyimpan uang secara tidak sah dan barang berharga lainnya;
7.  menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi narkotika dan/atau prekursor narkotika serta obat-obatan lain yang berbahaya;
8.  menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol;
9.  melengkapi kamar hunian dengan alat pendingin, kipas angin, televisi, dan/atau alat elektronik lainnya;
10. memiliki, membawa dan/atau menggunakan alat elektronik, seperti laptop atau komputer, kamera, alat perekam, telepon genggam, pager, dan sejenisnya;
11. melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar hunian; 
12. membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau sejenisnya;
13. membawa dan/atau menyimpan barang-barang yang dapat menimbulkan ledakan dan/atau kebakaran;
14. melakukan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis, terhadap sesama Narapidana, Tahanan, Petugas Pemasyarakatan, atau tamu/pengunjung;
15. mengeluarkan perkataan yang bersifat provokatif yang dapat menimbulkan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban;
16. membuat tato, memanjangkan rambut bagi Narapidana atau Tahanan Laki-laki, membuat tindik, mengenakan anting, atau lainnya yang sejenis;
17. memasuki blok dan/atau kamar hunian lain tanpa izin Petugas Pemasyarakatan; melakukan aktifitas yang dapat mengganggu atau membahayakan keselamatan pribadi atau Narapidana, Tahanan, PetugasPemasyarakatan,pengunjung, atau tamu;
19. melakukan perusakan terhadap fasilitas Lapas atau Rutan; 
20. melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan;
21. menyebarkan ajaran sesat; dan
22. melakukan aktifitas lain yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban Lapas atau Rutan

Untuk lebih lengkapnya silahkan anda mengunduhnya disini.

http://www.4shared.com/office/ZeoakiHk/Kitab_Undang-undang_Hukum_Acar.html

Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pada Pasal 270 KUHAP menentukan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan padanya. Sejalan dengan ketentuan KUHAP tersebut dijelaskan pula bahwa dalam Pasal 36 Undang-Undang NO. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
 
Proses pelaksanaan putusan pengadilan yang telaah mempunyai kekuatan hukum tetapi adalah berbeda berdasarkan jenis pidana yanya ada. Pada bagian ini akan dijelaskan prosedur pelaksanaan putusan pengadilan berdasarkan jenis pidana yang dijatuhkan.
 
A.    Pidana Mati 
Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung RI Nomor :   INS-006/J.A/4/1995 Tentang Pelaksanaan Buku Panduan Penanganan Perkara Pidana Umum, menentukan tentang pelaksanaan putusan pidana pengadilan/eksekusi dalam hal pidana mati sebagai berikut:
 
1.    Melakukan koordinasi dengan polri untuk menentukan waktu dn tempat pelaksanaan pidana mati serta tenaga dan alat-alat yang dperlukan;
2.    Menyiapkan laporan persiapan pelaksanaan pidana mati kepada Jaksa Agung oleh Kejati/Kejari;
3.    Menyiapkan surat perintah pelaksanaan putusan pengadikan;
4.    Memberitahukan kepada terpidana dan keluarganya tentang penolakan grasi dan pelaksanaan pidana mati 3 (tiga) hari sebelum saat pelaksanaan dengan membuat Berita Acara (BA);
5.    Memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati, yakni dilaksanakan dengan  ditembak sampai mati dengan cara sederhana mungkin dan tidak di muka umum dengan jalan di pegang regu tembak Brimob terdiri dari 12 Tamtama dipimpin seorang perwira dengan menggunakan senjata non-organik;
6.    Saat akan ditembak ditutup dengan kain hitam mata terpidana;
a.    Jarak tembak tidak lebih dari 10 meter dan tidak kurang dari 5 meter;
b.    Isyarat pelaksanaan dilakukan oleh komandan regu penembak dengan menggunakan pedang;;
c.    Saat diangkat keatas berarti perintah siap untuk menembak dengan membidik arah jantung;
d.    Menyentakkan pedang kearah bawah secara cepat berarti perintah untuk menembak;
e.    Bika ternyata belum mati Komandan regu penembak memerintahkan bintara regu tembak untuk melepaskan tembakan pada kepala bagian atas telinga terpidana;
f.    Dikter yang ikut serta memastikan terpidana sudah mati memberikan surat keterangan kematian;
g.    Penguburan diselenggarakan kepada keluarga atau sahabatnya dengan membuat berita acara, kecuali jaksa tinggi menentukan lain;
h.    Membuat BA Pelaksanaan hukuma mati yang tembusannya disampaikan ke MA, MENKEH, Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda yang bersangkutan, Karo Hukum, Sekertaris Negara, Kejati dan Kapolda.
 
B.    Pidana Penjara Atau Kurungan
Prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap pidana penjara atau kurungan antara lain :
 
1.    Menerima salinan pitusan pengadilan dan panitera pengadilan negeri yang bersangkutan dalam waktu 1 minggu untuk perkara biasa dan 14 hari untuk perkara dengan acara singkat;
2.      Kepala Kejaksaan menggunakan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan;
3.    Menyerahkan terpidana kepada Lembaga Pemasyarakatan;
4.    Membuat Laporan Pelaksanaan.
 
Berdasarkan prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap pidana penjara atau kurungan pada poin 2 disebutkan bahwa kepala kejaksaan negeri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan, dengan dikeluarkannya surat perintah tersebut maka jaksan segera menjalankan tugasnya untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan.
 
Kemudian apabila seorang terpidana dipidana penjara atau kurungan lebih dari satu putusan, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu (Pasal 273 KUHAP).
 
C.    Pidana Denda dan Ganti Kerugian
Pelaksanaan putusan pidana denda, dilaksanakan dalam waktu 1 bulan, kecuali apabila ada alasan yang mendesak maka Jaksa dapat memberi kesempatan menunda pembayaran dengan 1 bulan lagi. Akan tetapi hal tersebut tentang pemberian waktu pembayaran denda tidak dimungkinkan pada putusan pidana dalam acara pemeriksaan ceat karena dalam putusan acara cepat pembayarannya harus segera dilunasi.
 
Apabila dalam putusan pidana tersebut juga menetapkan bahwa ada barang bukti dirampas untuk negara dan tidak terikat guna bukti perkara lain, maka jaksa menguasakan denda kersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu 3 bulan untuk dilelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa (Pasal 273 ayat (3) KUHAP).
 
Adapun pelaksanaan putusan ganti kerugian telah tegas ditentukan dalam Pasal 274 KUHAP bahwa pelaksanaan atas suatu ganti kerugian dilakukan menurut tatacara putusan perdata. Dengan demikian acaranya bagi pelaksanaan atas ganti kerugian ini diperlakukan H.I.R, bagian perkara perdata, karena hingga kini belum ada hukum acara perdata lain, selain yang diatur dalam HIR apabila pengadilan menjatuhkan biaya perkara dan ganti kerugian kepada lebih dari satu orang terpidana, maka biaya perkara dan ganti kerugian tersebut dibebankan kepada mereka bersama-sama secara berimbang (Pasal 275 KUHAP).

Tahap Pemeriksaan Pengadilan

Tahap Pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan dapat dilakukan dengan menggunakan tiga acara pemeriksaan yaitu acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat. Pembagian dalam tiga acara ini sebenarnya merupakan perwujudan untuk menjabarkan asas peradilan cepat, sederhana dan  biaya ringan. Di samping itu, didasarkan pula atas berat ringannya kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan. Dibawah ini akan dilukiskan pemeriksaan tersebut namun lebih fokus pada proses pemeriksaan dengan acara pemeriksaan biasa.

Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan ke pengadilan. Tindak pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri ysng berjumlah tiga orang.

Tahap pemeriksaan disidang pengadilan diawali dengan menetapkan majelis hakim, selanjutnyya ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir apabila tempat tinggalnya tidak diketahui. Dalam hal terdakwa telah dipanggil tetapi tidak hadir pada sidang tanpa alasan yang sah, maka [pemeriksaan tersebut dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
Dalam hal terdakwa lebih dari seorang dan tidak semua hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. Hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar terdakwa dihadirkan secara paksa, dalam hal telah dua kali dipanggil secara sah akan tetapi tidak hadir.

Setelah tiba hari persidangan, hakim menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara tertentu dimana sidang harus dinyatakan tertutup untuk umum. Setelah itu dilakukan pemeriksaan identitas terdakwa, kemudian diteruskan dengan pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Terdakwa atau penasehat hukum dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, kemudian setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Dalam hal keberatan diterima maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Namun apabila keberatan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.

Proses pemeriksaan diteruskan dengan pembuktian. Bagian ini yang paling penting dari tiap tahap atau proses perkara pidana, khususnya bagi terdakwa karena dari hasil pemeriksaan inilah tergantung apakah terdakwa akan dinyatakan terbukti atau tidak, bersalah atau tidak sehingga akan mewarnai putusan hakim.
Pada proses pembuktiam ini harus didasarkan pada ajaran-ajaran atau teori sehingga pembuktian itu dapat mengikat dan mempunyai kekuatan hukum pembuktian. Dalam literatur dikenal berbagai macam teori pembuktian yakni:

1.    Conviction Intime
Conviction Intime dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan atas keyakinan hakim belaka. Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim, artinya jika ada pertimbangan putusan hakim telah menganggapo terbutki suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, maka terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Teori ini adalah yang menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut.

Konsekwensi dari sistem pembuktian yang dimiliki tidak membuka kesempatan atau paling tidak menyulitkan bagi terdakwa untuk mengajukan pembelaan dengan menyodorkan buktu-bukti lain sebagai pendukung pembelaannya itu. Tidak mengakui dan menerimanya bukti-bukti lain dapat berakibat putusan hakim menjadi tidak populer dan bahkan menjadi aneh di mata masyarakat.

2.    Conviction Rasionnee
Sistem Pembuktian Coviction Rasionnee
adalah sistem pembuktian yang masih tetap menggunakan keyakinan hakim, numun keyakinan hakim menggunakan alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Berbeda denga sistem Conviction Intime, maka dalam sistem ini hakim tidak lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya, karena keyakinan harus diikuti dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya. Dan alsan-alasan itupun harus “reasionable” yakni berdasar alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran.

Sistem Coviction Rasionnee masih menggunakan dan mengutamakan keyakinan hakim di dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, sistem ini tidak menyebutkan adanya alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari pada keyakinan hakim semata-mata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem ini hampir sama dengan sistem pembuktian Conviction Intime,  yakni semata-mata menggunakan keyakinan hakim, bedanya adalah terletak pada ada tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim. Jikan dalam sistem Conviction Intime keyakina hakim bebas tidak dibatasi oleh alasan-alasan apapun, sementara dalam pembuktian Conviction Rasionnee kebebasan itu tidak ada melainkan terkait oleh alasan-alasan yang dapoat diterima oleh akal sehat.

3.    Positief Wettelijk BewijstheorieTeori ini adalah teori pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif. Pembuktian menurut teori ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan kepada alat-alat bukti yang tersebut di dalam undang-undang, jika telah terpenuhinya alat-alat tersebut, maka hakim sudah cukup alasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada.

Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah sistem pembuktian yang bertolak belakangdengan teori pembuktian manurut keyakinan atau Conviction Intime. Keyakinan hakim dalam ini tidak diberi kesempatan dalam menentukan ada tidaknya kesalahan terdakwa, keyakinan hakim harus dihindari dan tidak dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan kesalahan seseorang. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.

Ajaran pembuktian yang didasari undang-undang berusaha menghindarkan dari dari segala pertimbangan hakim yang bersifat subjektif, hakim dalam ajaran ini hanya sebagai corong undang-undang, sebagai robot pelaksana undang-undang yang dianggap tidak memiliki hati nurani, jika hati nurani itu ada harus disingkirkan tidak berhak untuk hadir dan dibatalkan dalam pengambilan putusan.

4.    Nagatief Wettelijk Bewijstheorie
Nagatief Wettelijk Bewijstheorie
atau pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain meggunakan alat bukti yang dicantumkan dalam undang-undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum adlam undang-undang dan keyakinan hakim makan teori pembuktian ini sering juga disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag).
 
Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah sistem yang menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau Conviction Intime. Dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif.

Dengan memperhatikan keseliruhan pembahasan terhadap teori-teori terebut diatas, maka manakah diantara keempat teori tersebut yang dianut dalam Peradilan Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu membaca Pasal 183 KUHAP yang berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kucuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya”

Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa dalam pembuktian diperlukannya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Kedua syarat tersebut, memungkinkan hakim menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa, sebaliknya jika kedua hal itu tidak dipenuhi berarti hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.

Dari penjelasan tersebut, nyatalah bahwa sistem pembuktian yang dianut oleh Indonesia sekarrang adalah sispem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Nagatief Wettelijk Bewijstheorie), karena kedua syarat yang harus dipenuhi dalam sistem pembuktian ini, telah tercermin dalam Pasal 183 dan dilengkapi dengan Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti yang sah. Lebih jelasnya lagi bahwa kuhap menganut sistem pembuktian negatief wettelijk adalah terlihat didalam undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum.

Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan pada alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang disertai dengan keyakinan hakim atas alat bukti yang diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari:
1.    Keterangan Saksi;
2.    Keterangan Ahli;
3.    Surat;
4.    Petunjuk; dan
5.    Keterangan Terdakwa

Disamping itu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga menganut minimum pembuktian (minimum bewijs), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimum pembuktian berarti dalam pembuktian suatu perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti. KUHAP memberikan batasan minimal penggunaan alat bukti, yang minimalnya dua alat bukti disertai dengan keyakinan hakim.

Setelah pemeriksaan telah dilaksanakan, tuntutan pidana, pembelaan, replik dan duplik telah dijatuhkan dalam persidangan, maka tiba saatnya majelis hakim memberikan putusan. Putusan majelis hakim diambil dalam suatu musyawarah majelis hakim yang merupakan pemufakatan yang berhasil dicapai. Apabila kebulatan tidak dapat diperoleh maka didasarkan dengan suara terbanyak, apabila mekanisme itu masih belum tercapai suara bulat, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang menguntungkan terdakwa.

Sumber:
1.    Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta, UII Perss, 2011
2.    Undang-Undang No. 18 Tahun 1981 Tentang Kutab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3.    Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca…

Penuntutan

Tahan Penuntutan adalah tahap pada wilayah institusi kejaksaan, dengan memberi kewenangan penuh kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan.

Sebelum jaksa penuntut umum melakukan penuntutan umumnya didahului dengan “prapenuntutan” yakni mempelajari dan meneliti kembali Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diajukan oleh Penyidik termasuk mempersiapkan surat dakwaan sebelum dilakukan penuntutan. Tujuannya adalah dalam rangka mengetahui BAP sudah lengkap atau belum, atau untuk mengetahui berkas perkara itu telah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan atau belum. Jika dalam penuntutan ditemukan kekurangan atau tidak lengkapnya persyaratan yang diperlukan. JPU dapat mengembalikan BAP tersebut ke penyidik untuk dilengkapi dengan memberi petunjuk hal-hal yang perlu dilengkapi.

Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka dalam tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnya, suret ketetapan yang dimaksud tersebut diberitahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasehat hukum, pejabat rumah tahana negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohonkan prapradilan, sebagaimana yang diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.

Jika jaksa penuntut umum Berpendapat bahwa BAP yang disampaikan oleh penyidik telah lengkap maka dapat dilakukan penuntutan, yakni secepatnya harus segera dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri setempat, dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum diberi tanggal dan ditandatangani olehnya. Surat dakwaan tersebut berisikan identitas tersangka dan uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan.

Penuntutan suatu perkara dapat dilakukan dengan bernbagai cara. Cara ini tergantung berat ringannya suatu perkara yang terjadi. Jika perkara tersebut termasuk perkara biasa yang ancamannya datas satu tahun, maka penuntutannya dilakukan dengan cara biasa. Penuntutan perkara dengan cara biasa ditandai dengan adanya acara yang telah disusun oleh penyidik. Ciri utama dari penuntutan ini, yakni selain disertai dengan surat dakwaan yang disusun secara cermat dan lengkap oleh jaksa penuntut umum dan penuntut umum yang menyerahkan sendiri berkas perkara tersebut dan harus hadir pula di persidangan.

Selain penuntutan secara biasa tersebut, penuntutan dapat pula dilakukan secara singkat. Penuntutan ini dilakukan jika perkaranya ancaman pidananya lebih ringan yakni tidak lebih dari satu tahun penjara.  Berkas perkara yang dikeluarkan biasanya tidak rumit sekalipun demikian jaksa penuntut umum tetap membuat dan mengajukan surat dakwaan yang disusun secara sederhana. Penuntutan jenis ini, penuntut umum langsung mengantarkan berkas perkara ke pengadilan yang kemudian didaftarkan dalam buku registrasi oleh panitera pengadilan.

Jenis penuntutan lainnya adalah penuntutan dengan cara cepat.  Penuntutan jenis ini terjadi pada perkara yang ringan atau perkara lalulintas, yang ancaman pidananya tidak lebih dari tiga bulan. Penuntutan perkara tidak dilakukan oleh jaksa penuntut umum melainkan diwakili oleh penyidik Polri. Pada penuntutan ini tidak dibuat surat dakwaan, melainkan hanya berupa catatan tentang kejahatan atau pelanggaran yang dlakukan. Catatan tentang kejahatan atau pelanggaran inilah yang diserahkan ke pengadilan sebagai pengganti surat dakwaan.

Swlanjutnya Pasal 141 KUHAP menentukan bahwa penuntut umum dapat melakukan penuntutan dengan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas. Penggabungan perkara ini dapat dilakukan asal memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 141 PUHAP  itu sendiri yaitu:

1.    Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
2.    Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain;
3.    Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 141 huruf b KUHAP diatas, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana yang dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain itu adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan:

1.    Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
2.    Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari pemufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;
3.    Oleh seseorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.

Berbeda dengan Pasal 141 KUHAP yang memungkinkan penggabungan perkara, Pasal 142 KUHAP justru memungkinkan penuntut umum melakukan pemisahan perkara. Pemisahan perkara ini dapat dilakukan dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141 KUHAP. Penuntut umum dalam hal ini melakukan penuntutan terhadap masing-masing tersangka secara terpisah.

Berkas perkara seperti ini misalnya dalam perkara korupsi yang melibatkan banyak seperti Bupati, Walikota, Kepala Jawatan Bendaharawan, pengawas-pengawas dan lainnya. Dalam perkara korupsi ini dapat saja terjadi beberapa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yangberbeda-beda dan dilakukan oleh orang yang berbeda pula. Jika berkas perkara korupsi ini jadi satu, maka penuntut umum dapat memecah (splitsing) untuk kemudian melakukan penuntutan terhadap terdakwa secara terpisah.

Semoga Tulisan ini Bermanfaat Bagi Kalian yang mendalami atau kurang pahan tentang proses peradilan. 

Penyelidikan Dan Penyidikan

Tahapan ini adalah awal dari proses pemeriksaan perkara pidana, keberhasilan tahap ini menentukan tahapan selanjutnya. Tahapan ini menjadi urusan dan tanggungjawab institusi kepolisian.  Sekalipun kedua tahapan ini berada dikepolisian namun keduanya memiliki tujuan dan wilayah kerja yang berbeda. Untukitu pada uraian ini akan dijelaskan secara terpisah sebagai berikut:

1.    Tahapan Penyelidikan

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untukmencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur. Dalam hal ini yang melakukan tindakan penyelidikan sesuai dengan ketentuan Pasal 3 KUHAP adalah seorang penyelidik, sementara itu Pasal 1 angka 4 KUHAP menyebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat Polisi NRI yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.
Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penagkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of Innocence) sebagai mana disebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan hak asasi ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada Penyidik.
2.    Tahap Penyidikan

Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sesuai dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untu mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka. Penyidik yang dimaksud di dalam ketentuan KUHAP adalah Pejabat Polisi NRI dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberikan kewenangan oleh undang-undang.
Jika memperhatikan keseluruhan ketentuan di dalam KUHAP dapat kita tarik kesimpulan proses penyidikan yang dilakukan adalah dapat digambarkan sbb:
a.    Diawali dengan adanya bahan masukan tindak pidana
b.    Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian
c.    Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksid.    Melakukan upaya paksa yang diperlukan
e.    Pembuatan berita acara
Penyidikan yang dilakukan didahului dengan pembertahuan kepada penuntut umum bahwa penyidikan atas suatu  peristiwa pidana telah dimulai atau yang biasa disebut Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Apabila dalam penyidikan tidak ditemukan cukup bukti yang dapat menguatkan atau peristiwa tersebut bukan suatu tindak pidana penyidikan dapat dihentikan demi hukum.  Apabila korban atau keluarganya tidak menerima penghentian penyidikan tersebut maka korban atau keluarganya dapat mengajukan praperadilan kepada ketua pengadilan sesuan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Jika berkas perkara kurang lengkap maka penyidik harus segera mengembalikan kepada penyidik disertai petunjuk dan apabila dalam wakti 14 hari berkas tidak kembali maka penyidikan dianggap selesai.

Tahap Dalam Proses Peradilan Pidana

Sebagai negara hukum, Peradilan adalah mutlak diperlukan sebab dengan peradilan akan dapat mewadahi dan mengimplementasikan berbagai persoalan hukum ke dalam bentuk yang konkrit. Dengan peradilan itu akan dapat terjadi proses-proses hukum sebagai salah satu wujud legitimasi atau pengabsahan atas berbagai perilaku baik dalam hubungan individual mauun dalam hubungan kelompok sosial kemasyarakatan.
Ketika proses-proses hukum (pidana) itu terjadi melalui Lembaga Peradilan, berarti telah terjadi proses peradilan pidana yang tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan sebagaimana yang dicita-citakan oleh semua pihak. Keadilan adalah menjadi tujuan dalam upaya menyelenggarakan peradilan, namum tidak pula menutup tujuan lainnya yakni tujuan yang juga menjadi tujuan negara kita sekaligus menjadi tujuan pembangunan negara yakni mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spritual berdasarkan pancasila.
Proses Peradilan Pidana dapat dimaknai sebagaimana keseluruhan tahapan pemeriksaan terhadap perkara pidana untuk mengungkap perbuatan pidana yang terjadi dan mengambil tindakan hukum kepada pelakunya. Proses peradilan Pidana melalui beberapa tahapan yang masing-masing tahapan diwadahi oleh institusi dengan struktur dan kewenangan masing-masing. Dalam pandangan sistem Peradilan Pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang ikut serta mengambil peran dalam melakukan proses peradilan pidana diantaranya adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan. Masing-masing institusi bertanggung jawab dan bekerja sesuai derngan tugas dan kewajibannya.
Dari keseluruhan rangkaian proses peradilan pidana dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat disimpulkan bahwa proses peradilan pidana Indonesia dapat dibagi kedalam 4 (empat) tahapam yakni:
1. Penyelidikan dan Penyidikan, tahapan ini menjadi tanggungjawab kepolisian;
2. Penuntutan, tahap ini menjadi tanggungjawab Kejaksaan;
3. Pemeriksaan disidang dan Putusan, Tahap ini menjadi tanggungjawab Pengadilan;
4. Pelaksanaan Putusan/Eksekusi, tahap ini menjadi tanggungjawab Pemasyarakatan.

Materi Sosialisasi Narkoba


Narkotika
 
Zat atau obat yang berasal dari tanaman  dan atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Psikotropika
    Zat/obat alamiah  dan atau sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.

Untuk Mendownload file materi tersebut anda bisa membukanya di situs
( http://www.4shared.com/file/aS6DiDyA/KULIAH_KERJA_PROFESI_HUKUM.html)

Praperadilan

Penegakan hukum merupakan upaya untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan perdamaian di masyarakat, apakah itu adalah bisnis atau pemberantasan atau pencegahan represi setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan kata lain, baik preventif maupun represif. Satu-satunya masalah adalah bahwa kadang-kadang ada tindakan - tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada
Proses praperadilan sebagai salah satu yang dapat ditempuh dalam proses hukum harus dilakukan sesuai dengan prosedur. Namun dalam kenyataannya praperadilan masih menimbulkan masalah tersendiri. Masing - masing pihak yang berperkara memiliki argumen sendiri dalam mendukung klaim bahwa ia adalah orang yang tepat.
Praperadilan yaitu sebagai "uji coba awal" sebelum - benar-benar dalam lingkup keadilan yang sesungguhnya harus dipahami secara menyeluruh. Entah akal, dan ruang lingkup dari proses peradilan itu sendiri.

Definisi Praperadilan
Praperadilan, dalam hal hukum Indonesia, Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus:
• Legal atau tidak penangkapan dan atau penahanan atau meminta tersangka atau keluarganya atau orang lain atau tersangka otoritas;
• Sah atau tidak penghentian penyidikan atau penuntutan permohonan penghentian penegakan hukum dan keadilan;
• Permintaan restitusi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau pengacara bahwa kasusnya tidak dibawa ke pengadilan.
Dari definisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa masalah praperadilan telah menjadi kewenangan di samping pengadilan distrik memeriksa dan memutuskan perkara pidana dan perdata. Isu-isu praperadilan menjadi bagian dari tugas dan wewenang Pengadilan Negeri tidak harus ditangani oleh pengadilan di yurisdiksi lain.
Tapi hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa proses praperadilan bukan bagian dari tugas memeriksa dan memutus kasus kejahatan itu sendiri, oleh karena itu meskipun putusan praperadilan yang mencakup keabsahan penghentian penyidikan atau penuntutan juga bukan merupakan atau yang dapat digolongkan sebagai keputusan akhir meskipun bisa diajukan banding. Putusan akhir mengenai hal ini di Pengadilan. Oleh karena itu, apa pun yang diputuskan oleh praperadilan yang khas, spesifik, dan memiliki karakter sendiri, karena di sini hakim hanya memiliki tugas dan wewenang sebagai sarana pengawasan horizontal dengan penegakan hukum, keadilan dan kebenaran.
Sifat praperadilan akan berfungsi sebagai penghalang terhadap upaya paksa sebelum seseorang diputuskan oleh pengadilan, pencegahan yang sini mungkin merupakan pencegahan tindakan yang merampas hak kebebasan setiap warga negara serta pencegahan tindakan yang melanggar hak-hak dari tersangka atau terdakwa, sehingga semuanya berjalan atau mengambil sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku dan sesuai dengan aturan.
Ruang Lingkup Praperadilan
Menurut KUHAP, yang dimasukkan ke dalam dan membuat ruang lingkup praperadilan kasus meliputi:
a. Validitas penangkapan;
b. Validitas penahanan;
c. Sah atau tidak penghentian penyidikan;
d. Pemutusan keabsahan penuntutan
e. Kompensasi dan rehabilitasi bagi seseorang kasusnya
berhenti di tingkat penyidikan;
f. Kompensasi dan rehabilitasi bagi seseorang kasusnya
berhenti di tingkat penuntutan;
g. Rehabilitasi bagi seseorang yang kasusnya harus dihentikan pada
tingkat penyidikan
h. Rehabilitasi bagi seseorang yang kasusnya harus dihentikan pada
tingkat penuntutan.
Alasan yang sah untuk penghentian penyelidikan adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada bukti yang cukup, dalam arti yang tidak dapat menemukan bukti yang sah yang cukup. Ini berarti bahwa bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, tidak terpenuhi atau bukti minimum kejahatan tidak dapat ditemukan, dan tidak ditemukan tercapai.
2. Acara ini bukan tindak pidana, yang berarti bahwa penyidik ​​percaya, acara ini awalnya dianggap suatu pelanggaran pidana, tetapi kemudian jelas bahwa insiden itu bukan merupakan tindak pidana, kemudian penyidik ​​untuk menghentikan penyelidikan atas insiden itu.
3. Investigasi dihentikan demi hukum karena menurut hukum itu tidak dapat melanjutkan peristiwa hukum, seperti dalam kasus ini, antara lain, menduga mati, terdakwa sakit jiwa, acara tersebut telah diputus dan memiliki kekuatan hukum, serta peristiwa hukum tersebut memiliki kadaluasa.
Berbicara tentang masalah hukum, yang termasuk dalam subyek hukum praperadilan adalah setiap orang yang dirugikan. Untuk keabsahan penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh jaksa penuntut umum atau penyidik ​​atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri yang menyatakan alasannya adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui pengawasan horisontal.
Subyek hukum yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
1. Hak untuk mengajukan upaya praperadilan untuk memeriksa keabsahan upaya paksa, menuntut kompensasi, rehabilitasi dan permintaan
a. Mencurigai
b. Tersangka Keluarga
c. Tersangka Pewaris
d. Tersangka Jaksa
e. Pihak ketiga yang berkepentingan
2. Hak untuk mengajukan gugatan mencoba untuk keabsahan penyidikan atau penghentian penuntutan adalah pemutusan
a. Penyidik ​​atau pihak ketiga yang berkepentingan
b. Jaksa penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan
3. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang bersangkutan
a. Saksi korban kejahatan
b. Reporter
c. Organisasi-organisasi non-pemerintah dan LSM, yang dimaksudkan untuk memberikan hak kepada kepentingan umum terkait korupsi, lingkungan, dll. Untuk itu sangat layak dan proporsional untuk mengesahkan organisasi publik dan non-pemerintah secara umum diwakili oleh LSM.
Seperti disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, dan seperti yang tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 10 KUHP bahwa "pengadilan distrik praperadilan berwenang untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang keabsahan penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau orang lain pada otoritas tersangka, keabsahan penghentian penyidikan atau penuntutan permohonan penghentian supremasi hukum dan keadilan, dan menuntut kompensasi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain untuk proxy yang kasusnya tidak diajukan ke pengadilan "dan yang paling penting untuk dicatat tentang proses praperadilan adalah pada proses sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh Panitera. Pemeriksaan perkara praperadilan dilakukan dengan cepat dan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari hakim sudah menjatuhkan putusannya.
Jika otoritas yang ditentukan dalam hakim pra-peradilan adalah sebagai berikut:
1. Sebuah uji validitas penangkapan
2. Sebuah uji validitas penangkapan
3. Sebuah uji keabsahan suatu penghhentian investigasi
4. Untuk menguji validitas penghentian penuntutan auatu
Selama hakim praperadilan telah wewnang untuk:
5. Menetapkan ganti rugi dan atau rehabilitasi mereka yang menghentikan kasus mereka pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Kejahatan Tanpa Korban

Salah satu masalah hukum favorit saya adalah adanya kejahatan tanpa korban, biasanya didefinisikan sebagai tindakan non-kuat yang peserta tidak mengeluh atas partisipasi mereka dan tidak ada cedera langsung yang ditimbulkan untuk non-peserta dari tindakan tersebut.Kejahatan tanpa korban secara tradisional dikaitkan dengan tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa yang menyetujui membahayakan pondasi moral masyarakat tapi tidak masyarakat secara langsung. Ini termasuk menggunakan obat-obatan, prostitusi atau non-perkawinan seks dan perjudian, untuk beberapa nama.Beberapa ekonom berpendapat bahwa daripada mengkriminalisasikan tindakan di atas, akan lebih baik untuk bukan melegalkan mereka. Tidak hanya bahwa tindakan-tindakan dapat memberikan penghasilan tambahan kepada pemerintah dalam bentuk pajak, juga dapat meminimalkan biaya penegakan hukum. Sebuah contoh yang baik akan menjadi perang terhadap narkoba yang telah menyebabkan biaya yang signifikan dalam bentuk uang dan kehidupan.Bertentangan dengan pendapat di atas, saya, di sisi lain, berpendapat bahwa kejahatan tanpa korban tidak ada. Jika kita menghitung kesejahteraan umum masyarakat, biaya yang dikenakan kepada setiap anggota masyarakat, bahkan jika mereka tidak secara langsung mempengaruhi anggota lainnya, masih akan peduli.Ada biaya yang terlibat terkait dengan obat penggunaan, biaya kesehatan pengguna. Ada juga biaya yang berkaitan dengan prostitusi, biaya yang berkaitan dengan penyakit menular seksual dan biaya yang mungkin untuk hubungan pernikahan karena ya, pernikahan juga merupakan bentuk investasi antara para pihak.Dan bagaimana tentang perjudian? Ini adalah bentuk pengalihan properti yang mudah bisa jatuh ke bentuk inefisiensi alokasi sumber daya. Kenapa? Karena game ini biasanya dirancang untuk memastikan bahwa bandar akan selalu menang.Contoh sederhana: kesempatan sebagian besar penjudi 'untuk menang sangat tipis di berbagai jenis permainan, sementara kesempatan memenangkan bandar tergantung pada probabilitas penjudi kalah dalam pertandingan, yaitu 1 - apa pun kemungkinan penjudi untuk menang. Jika penjudi hanya memiliki kesempatan 1 persen atau 0,01, bandar akan memiliki 99 persen kesempatan untuk memenangkan permainan. Sebuah cara yang sangat mudah untuk mendapatkan uang.Tentu, kita selalu memiliki argumen yang biasa: mereka dewasa telah memberikan persetujuan mereka dan mereka harus mengambil tanggung jawab untuk diri mereka sendiri. Dan benar juga bahwa peraturan tidak selalu konsisten.Ambil industri rokok sebagai contoh. Bisnis ini legal dan mereka membayar sejumlah besar pajak kepada pemerintah setiap tahun untuk mempertahankan bisnis.Jadi mengapa kita tidak melakukan hal yang sama untuk jenis lain dari "kejahatan tanpa korban"? Mari kita lihat ini bukan dari sudut pandang moral, tetapi dari sudut pandang ekonomi. Biasanya kebanyakan orang lupa bahwa ketika kita melegalkan tindakan tertentu, itu tidak berarti bahwa biaya penegakan akan menghilang ke udara tipis.Anda masih perlu mengeluarkan uang untuk memastikan bahwa bisnis "disahkan" akan mematuhi aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.Sebagai contoh. Jika Anda mengkriminalisasi obat dijual, Anda akan perlu untuk mengalokasikan dana untuk menegakkan hukum dan menghukum para pelanggar. Jika Anda melegalkan obat dijual, Anda akan menghabiskan dana untuk juga mengawasi bisnis, memastikan bahwa "orang bisnis" akan bermain sesuai dengan aturan tentang penjualan obat. Dan jika mereka tidak? Anda hanya akan menghukum mereka lagi.Bagaimana tentang pendapatan dari pajak? Nah, Anda tidak perlu untuk melegalkan tindakan untuk mendapatkan penghasilan tambahan melalui pajak, Anda hanya dapat mengubah aturan sehingga bukan menghabiskan waktu di penjara, para penjahat diwajibkan untuk membayar semua keuntungan mereka kepada pemerintah. Efeknya akan serupa dengan pajak dan pemerintah akan menerima uang juga.Bagaimana prostitusi? Legalisasi prostitusi mungkin mengurangi biaya pengawasan karena melegalkan bisnis biasanya berhubungan dengan lokalisasi. Ini akan mengurangi kemungkinan penularan penyakit seksual dan meningkatkan perlindungan pekerja seks.Tetapi juga bukan tanpa biaya tambahan. Lokalisasi juga dapat meningkatkan biaya bisnis prostitusi. Germo akan perlu membayar pajak dan biaya sewa gedung, tidak menyebutkan bahwa akan ada biaya tambahan untuk memindahkan tempat usaha. Dengan meningkatnya biaya, biaya jasa juga akan meningkat.Siapa yang akan menjamin bahwa itu tidak akan menciptakan insentif bagi pasar gelap dengan layanan yang lebih murah bagi konsumen yang tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke daerah prostitusi valid? Ini lagi akan membebankan biaya lain untuk penegakan hukum, yaitu, memberantas prostitusi ilegal di luar daerah disahkan.Melalui contoh-contoh ini, saya ingin menunjukkan bahwa pemikiran tentang kejahatan tanpa korban tidak semudah pengenaan pajak dan mengurangi biaya penegakan hukum. Sebaliknya, untuk setiap tindakan, akan ada konsekuensi ekonomi dan jika kita ingin membuat kebijakan yang tepat, kita perlu hati-hati menghitung biaya dan manfaat dari kebijakan tersebut.

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan korban Sebagai Perwujudan Hak asasi manusia

Pada saat dilahirkan kedunia, manusian sebagai makhluk ciptaan Tuhan membawa sejumlah hak dasar yag disebut sebagai Hak Asasi Manusia. Jika ada hak yang bersifat fundamental, tentu saja hak itu adalah hak atas hidup, keutuhan jasmani (hak atas rasa aman), dan kebebasan. Ketiga hak ini pada dasarnya merupakan hak dasar yang tidak dapat di hilangkan dan dikurangi dari setiap manusia dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Hak atas keamanan pribadi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh saksi dan korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 (yang biasa disebut Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban). Jika dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hak atas keamanan prbadi merupakan salah satu kategori dalam hak atas rasa aman. Perlindungan hak atas keamanan pribadi yang dibutuhkan oleh saksi dan korban dalam proses peradilan pidana adalah rasa aman yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 UU HAM pada saat memberikan kesaksiannya selama proses peradilan.
Pada dasarnya hak atas rasa aman memeng berkaitan dengan tidak adanya gangguan dan rasa takut. Singkatmna, hak tersebut berkaitan erat dengan ketentraman dan ketenangan yang selayaknya yang dimiliki oleh setiap manusia dalam menjalani kehidupannya dalam masyarakat. Untuk memahami hak atas rasa aman, Undang-Undang Hak Asasi Manusia  menjabarkan lebih jauh lagi dalam 10 jenis hak, yaitu:
a. Hak Untuk Mencari Suaka Politik dan Untuk Memperoleh Perlindungan Politik dari Negara Lain.
Pendapat dan kritik tentang penyelenggaraan pemerintahan di suatu negara sesungguhnya menjadi suatu hal yang wajar dan lumrah. Oleh karena hal tersebut merupakan masukan bagi pemerintah. Akan tetapi tidak jarang kritikan yang dilontarkan terhadap kebijakan pemerintah dianggap sebagai upaya menggulingkan pemerintah. Sebagai ‘lawan’ dari penguasa, tidak heran bila mereka yang melakukan hal tersebut mendapat tekanan dan dapat dituduh sebagai pelaku kejahatan terhadap negara dan pemerintah, yang ancaman hukumannya yaitu penjara, bahkan mungkin sampai hukuman mati.
Orang-orang yang ‘terancam’ oleh penguasa ini sesungguhnya dapat mencari suaka politik guna mencari perlindungan politik dari negara lain. Hal ini merupakan salah satu hak asasinya. Maka mereka harus diberi kebebasan untuk pergi ke kedutaan besar negara lain atau pergi ke negara lain untuk meminta perlindungan. UUD 1945 menjamin hak mereka ini dalam Pasal 28 G Ayat (2) dan kemudian ditegaskan pada UU HAM Pasal 28 (1). Meskipun ada pembatasan yang diberikan undang-undang ini dalam ayat (2) dari pasal yang sama, bahwa hak untuk mencari suaka politik itu tidak diberikan kepada mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan perinsip PBB.
Jadi, untuk meminta suaka politik hanya diperuntukkan bagi kejahatan-kejahatan politik, yaitu yang berkaitan dengan perbedaan pendapat mengenai ideologi yang memungkinkan diberi perlindungan. Sementara yang bersifat nonpolitik, yaitu yang bersifat kriminal misalnya, menghilangkan nyawa, merampas harta milik orang lain dan lain sebagainya, tidak dimungkinkan untuk diberi hak semacam itu.
b. Hak atas Perlindungan Diri Pribadi, Keluarga, Martabat dan Hak Miliknya.
Hak ini semakin mengintegritaskan manusia, karena dalam hak ini menegaskan bahwa diri (pribadi), keluarga, kehormatan, dan hak milik seseorang harus dilindungi. Hal ini yang menjadi perundingan dalam pasal ini adalah kepentingan-kepentingan yang mendapat prioritas perlindungan dalam hukum. Perlindungan khusus dalam bentuk peraturan pidana, yang sanksinya memungkinkan untuk seseorang kehilangan harta, kebebasan ataupun kehilangan nyawanya.
Dalam instrumen internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 12 dan 17 Ayat (2) maupun di International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 17 Ayat (1) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum, instrumen HAM dan hukum dalam negeri, yaitu Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang telah diamandemen dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia tentu saja juga meniliki ketentuan yang melindungi kepentingan-kepentingan yang telah diakui secara universal tersebut. Setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya. Bahkan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu dalam bentuk memberikan ancaman hukuman terhadap perbuatan yang dianggap undangt-undang ini sebagai kejahatan karena merugikan orang lain.
Untuk perlindungan terhadap diri sendiri dan keluarga, adanya seperangkat ketentuan tentang kejahatan kerhadap nyawa, seperti pembunuhan ( Pasal 338 – Pasal 349) jelas dapat menjadi landasan hukum untuk memberikan perlindungan yang diharapkan.
Dari uraian diatas, kita bisa menihat bahwa dalam hukum materiil telah ada sejumlah ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap diri sendiri, keluarga, martabat, kehormatan dan hak milik. Perlindungan-perlindungan ini ternyata merupakan hak setiap orang yang ada di Indonesia, tidak terbatas pada warga negara saja. Dengan adanya ketentuan-ketentuan ini, aparat hukum memiliki tugas untuk memproses setiap bentuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut.
c. Hak Aaas Pengakuan di Depan Hukum Sebagai Manusia Pribadi Dimana Saja Berada
Sejumlah hak yang dibawah manusia sejak lahir sesuai dengan kodratnya sebagai manusia,  akan sulit diimplementasikan apabila belum ada hukum yang secara tegas mengakuinya. Dalam negara yang sangat menjunjung tinggi idioligi demikrasi, hukum menjadi landasan setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengakuan sebagai manusia pribadi di depan hukum dimanapun ia berada, menurut Pasal 6 DUHAM, merupakan hak setiap orang. Bahkan oleh Pasal 7 DUHAM yang telah diakui sebagai norma internasional ini, ditambahkan bahwa semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Sebagai negara hukum, Indonesia seperti yang telah dinyatakan dalam UUD 1945, mengakui kesamaan kedudukan dimuka hukum bagi segala warga negara (Pasal 27). Berdasarkan amandemen kedua, kemudian dicantumkan pada Pasal 28 D Ayat (1) yang memperluas dan mempertegas hak ini. Pasal-pasal tersebut pada intinya menytakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dimuka hukum. Disamping itu, ditegaskan bahwa hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat di hilngkan atau dihapuskan dalam keadaan apapun.
UU HAM,  sebagai organik secara tegas mencantumkan hak ini dalam Pasal 29 Ayat (2). Ketentuan ini seharusnya menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum dalam memperlalukan setiap orang.
d. Hak atas Rasa Aman dan Tentram serta Perlindungan Terhadap Ancaman Ketakutan untuk Berbuat atau Tidak Berbuat Sesuatu
Manusia tak mungkin hidup sendiri. Sudah menjadi kodratnya ia harus hidup bersama-sama dengan manusia yang lain., karena ia mempunya berbagai keperluan dasar yang hanya dapat dipenuhi apabila ia hidup secara bermasyarakat. Akan tetapi, kehidupan bermasyarakat penuh denga friksi dan benturan kepentingan antara satu individu dengan individu yang lain, yang kemudian dapat berkembang menjadi suatu konflik. Hal ini disebabkan oleh sifat dasar manusia yang cenderung mementingkan dirinya sendiri dan ingin berkuasa. Oleh seban itulah, sering muncul tindak kesewenang-wenangan dari pihak yang merasa kuat dan berkuasa terhadap pihak yang lain yang lemah dan takberdaya. Untuk mencapai keinginannya, pihak yang kuat menggunakan berbagai macam cara, misalnya mengancam, sehingga pihak yang lemah menjadi ketakutan untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu. Dalam kondisi ini tentunya tidak ada rasa aman dan tentram pada diri pihak yang lemah . mereka melakukan sesuatu dalam keadaan ketakutan, bahkan ada kalanya mereka berbuat sesuatu tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 30 UU HAM menyatakan secara tegas bahwa hak ini dimiliki oleh setiap orang. Pasal 28 G Ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan hal yang serupa. Sebagai jamina pelaksanaan hak ini, KUHP telah memuat sejumlah pasal yang melarang dan mengancam dengan sanksi hukuman penjara bila seseorang mengancam orang lain untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Misalnya, seseorang yang memaksa orang lain untuk tidak memberikan kesaksian yang sebenar-benarnya. Dalam contoh ini sudah jelas bahwa korban adalah orang yang dipaksa tersebut. Namun ada kalanya pihak ketiga yang dituju oleh pemaksa dan untuk itu ia memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan yang masuk dalam kategori kejahatan. Orang yang terpaksa melakukan kejahatan ini juga mendapat perlindungan hukum melalui ketentuan Pasal 48 KUHP. Pasal ini secara tegas mengatakan bahwa orang yang melakukan kejahatan karena adanya daya paksa tidak dapat dipidana, tapi justru orang memaksanya itulah yang akan dipidana.
e. Hak untuk Tidak Diganggu Tempat Kediamannya
Disamping sandang dan pangan, rumah atau tempat kedaman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia  sebagai tempat berteduh. Pada umumnya, rumah menjadi tempat sebagian orang menghabiskan sisa waktunya setelah seharian berada diluar rumah untuk bekerja mencari nafkah, sekolah ataupun melakukan aktifitas lainnya. Jadi rumah atau tempat kediaman merupakan tempat yang harus dapat memberikan rasa aman dan tentram bagi mereka yang menempatinya. Hal ini secara tegas di sebutkan dalam DUHAM dan ICCPR. Pada Pasal 12 DUHAM dan Pasal 17 Ayat (1) dan (2) ICCPR menyatakan bahwa tidak seorangpun yang boleh diganggu dengan sewenang-wenang dalam urusasn rumha dan setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum bila terjadi gangguan atau serangan terhadap tempat tinggalnya.
Dalam UUD 1945 memang tidak ada pasal yang secara tegas menyebutkan hak untuk tidak diganggu dalam rumahnya. Akan tetapi, sebagai hasil amandemen kedua Pasal 28 G Ayat (1) memberikan hak kepada setiap orang atau perlindungan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya. Jadi, UUD 1945 justru lebih luas dalam memberikan perlidungan, tidak hanya rumah saja yang dapat diberikan perlindungan. Setiap harta benda yang berda di bawah kekuasaannya juga mendapatkan perlindungan yang serupa.
Penambahan Pasal 28 G, yang masuk dalam bab tentang HAM memang dilakukan untuk penyelarasan, karena sebelumnya UU HAM telah mencantumkan berbagai hak asasi manusia, yang salah satunya adalah hak untuk tidak diganggung tempat kediamannya (Pasal 31).  Penjelasan Pasal 31UU HAM menyatakn bahwa kata “ tidak boleh diganggu” berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya. Jadi, penjelasan pasal ini menyiratkan bahwa ruang lingkup hak ini sangat sempit. Sebaliknya, ketika kita membaca rumusan Pasal 31 akan diperoleh kesimpulan yang berbeda, yaitu fokus perhatian tidak semata-mata tertuju pada kehidupan pribadi, tetapi pada tempat kediaman dan rasa aman yang harus dimiliki oleh setip orang.
Sebagai salah satu contoh sebagai salah satu ketentuan hukum yang memberikan perlindungan pada hak ini adalah Pasal 167 KUHP yang menjelsakan secara tegas mengancam dengan hukumna penjara selama-lamanya  9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-, bila orang tanpa hak masuk dengan paksa kedalam rumah, ruang tertutup dan tudak segera pergi ketika diminta pergi oleh yang berhak atau atas nama orang yang berhak. Bahkan, hukuman untuk kejahatan yang biasa disebut dengan pelanggaran hak kebebasan rumah tangga (huisvredebruik) ini dapat diperberat menjadi pidana penjara satu tahun empet bulan bila pelaku mengeluarkan ancaman atau memakai daya upaya yang menakutkan.
Ketentuan Pasal 167 KUHP ini sejalan dengan makna ketentuan Pasal 31 Ayat (2) UU HAM, yang hanya memperbolehkan seseorang memasuki kediaman atau rumah tanpa seizin orang yang mendiaminya bila telah ditentukan oleh undang-undang.
f. Hak untuk Berhubungan Surat Menyurat termasuk Hubungan Berkomunikasi Melalui Sarana Elektronik secara Merdekan dan Rahasia
Pada masa sekarang ini, berbagai keperluan dapat dilakukan dari jarak jauh dengan menggunakan/memanfaatkan sarana-sarana komunikasi baik surat menyurat maupun sarana elektronik demi menghemat waktu, tenaga, dan juga biaya. Berbagai mcam urusan yang bersifat pribadi, kekeluargaan, bisnis, sampai urusan antar kepala negara, tidak jarang dilakukan tanpa harus bertemu langsung. Oleh karena itu, merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan hak asasi untuk berkomunikasi ini juga lengkap dengan memberikan rasa aman untuk melakukan komunikasi tersebut secara merdeka dan rahasia.
Pasal 12 DUHAM dan Pasal 17 Ayat (1) dan (2) ICCPR menyatakan dengan tegas bahwa tidak seorangpun dapat diganggu secara sewenang-wenang dalam hubungan surat menyurat. Khusus untuk Indonesia dalam UUD 1945 sampai dengan amandemen yang keempat, tidak dijumpai ketentuan yang seperti itu. Padaha dalam masalah komunikasi, UUD 1945 dalam Pasal 28 F telah memberikan hak untuk berkomunikasi pada semua orang. Sementara UU HAM, dalam Pasal 32 menjamin kemerdekaan dan kerahasiaan dalam hubungan surat menyurat termasuk hubungan berkomunikasi melalui sarana elektronik, kecuali ada perintah hakim ataukekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi, pada dasarnya surat milik seseoang tidak boleh dibuka dan diambil oleh orang lain yang tidak berhak, ataupun pembicaraan telepon seseorang dengan orang lain tidak boleh di dengar oleh orang ketiga.
Hukum bahkan memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan dan kerahasiaan komunikasi, lewat surat misalnya dengan ketentuan Pasal 234 KUHP. Pasal ini mengancam dengan hukuman penjara paling lama satu tahun empat bulan kepada siapa saja yang membuat surat tidak sampai ke alamatnya, membuka ataupun merusak surat apapun juga yang telah diserahkan ke kantor pos atau di serahkan ke kurir. Untuk kebebasan dan kerahasiaan pembicaraan melalui telpon, perlindungan diberikan melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Komunikasi dalam Pasal 22, Pasal 40, dan Pasal 56.
Menurut pasan 22 UU tersebut diatas, setiap orang yang tidak berhak dilarang untuk mengakses jaringan ataupun jasa telkomunikasi. Sementara itu Pasal 40 secara tegas melarang kegiatan penyadapan informasi yang disalurkan melalui jaringan telkomunikasi dalam bentuk apapun. Pasal 56 memberikan perlindungan dari kegiatan penyadapan dengan mengancamkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun bagi mereka yang melakukannya.
Meskipun ada undang-undang yang secara tegas melarang perbuatan yang merupaka gangguan terhadap kemerdekaan dan kerahasiaan berkomunikasi, tetapi dalam hal tertentu pihak yang telah diberikan kewenangan oleh undang-undang dapat melakukan penyitaan surat dan penyadapan telepon seperti yang tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) Butir e dan Butir j KUPH.
g. Hak untuk Bebas dari Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawai, Merendahkan Derajat dan Martabat Kemanusiaan
Berbagai instrumen HAM dan hukum secara tegas melarang tindakan penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Pada pasal 5 DUHAM dan Pasal 7 ICCPR juga menyatakan hal yang sama, dengan tambahan secara khusus memberikan perhatian pada larangan menjadikan seseorang sebagai objek eksperimen medis atau ilmiah tampa persetujuan yang diberikan secara bebas. Dalam lingkup nasional, Pasal 28 G Ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil dari amandemen kedua yang dilakukan pada tauhun 2000, telah pula mencantumkan hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat kemanusiaan. Namun bunyi pasal tersebut tidak selengkap sebagai mana yang ada pada dua instrumen yang disebut terlebih dahulu serta UU HAM.
Tindakan-tindakan yang masuk kedalam kelompok hak yang disebutkan di atas, dapat dilakukan oleh siapapun dan ruanglingkupnya yany cukup luas. Akan tetapi, dari devenisi yang diberikan oleh Konverensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (converention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang telah dirativikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1988, nampak ada penyempitan pengertian khususnya untuk penganiayaan. Penganiayaan hanya dibatasi untuk tujuan memperoleh informasi dan pengakuan sehingga tidak salah apabila penganiayaan disini lebih banyak dikaitkan dengan tindakan aparat penegak hukum ketika melakukan proses pemeriksaan perkara pidana.  
h. Hak Untuk Bebas Dari Penghilangan Paksa dan Penghilangan Nyawa
Berdasarkan devinisi tentang penghilangan paksa yang terdapat dalam Pasal 33 Ayat (2) UU HAM, kita dapat memasukkan tindakan-tindakan penculikan ke dalam pelanggaran atas hak untuk bebas dari penghilangan paksa. Untuk penghilangan nyawa banyak sekali contoh kejadian sehari-hari yang dapat dikemukakan, sebab setiap penghilangan nyawa yang dilakukan sewenang-wenang tanpa berdasarkan keputusan pengadilan akan dapat masuk kategori pelanggara hak atas kebesasan dari penghilangan nyawa.
Dalam instrumen hukum terutama KUHP memang telah memberikan perlindungan kepada setiap orang untuk bebas dari penghilangan paksa, antara lain melalui ketentuan tentang kejahatan penculikan (Pasal 328 KUHP). Pasal ini mengancam hukuman pidana penjara selama-lamnya 12 tahun, siapa saja yang melakukan tindak pidana penculikan.
Penghilangan nyawa atau biasa disebtu dengan pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tanpa putusan pengadilan, itu adalah perbuatan yang melanggar norma agama, susila maupun hukum. Pembunuhan yang dilakukan secara sewenang-wenang dengan alasan apapun tidak dibenarkan dan juga merupakan suatu kejahatan. Dalam KUHP secara tegas dicantumkan beberapa pasal yang masuk dalam Bab Kejahatan Terhadap Nyawa, antara lain Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP. Pasal-pasal berikut mengancam dengan hukumn penjara 15 tahun untuk pembunuhan tanpa perencanaan terlebih dahulu (Pasal 338 KUHP), dan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau 20 tahun untuk pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP).
Dengan melihat tingginya hukuman yang diancamkan kita dapat menyimpulkan betapa tinggi dan berharganya nyawa itu dilindungi. akan tetapi, dalam hal-hal tertentu sebagai konsekuensi dari perbuatannya sendiri yang melakukan pelanggaran hukum mungkin akan mengalami penghilangan nyawa. Hal ini menjadi satu pengecualian dan harus berdasarkan putusan pengadilan. Jadi, apabila seseorang melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan pengadilan menjatuhkan hukuman mati, maka hukuman mati padanya itu sah dan tidak melanggar hukum.
i. Hak untuk Tidak Ditangkap, Ditahan, Disiksa, Dikucilkan, Diasingkan atau Dibuat Secara Sewenang-Wenang.
Ada kalanya seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan aturan dalam masyarakat, tetapi hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hapus ataupun hilang. Sesuai keduduknannya sebagai manusia yang dilahirkanmerdeka dan bermartabat, maka ia tiak boleh diperlakukan semena-mena.
Dalam memproses orang yang melakukan kejahatan dalam masyarakat, aparat penegak hukum melalui hukum acara pidana diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan dan juga melakukan tindakan-tindakan yang dapat melanggar hak asasi warganya. Namun, hukum acara pidana ini sekaligus membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga negara yang terlibat dalam proses peradilan. Ketentuan pasal ini sejalan dengan bunyi Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 34 UU HAM. Ketentuan tentang penangkapan (Pasal 17-19 KUHAP), penahanan (Pasal 20-30 KUHAP), praperadilan (Pasal 77-83 KUHAP), serta ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 95, 96, 97 KUHAP) secara tegas memberikan perlindungan tersebut.
j. Hak Hidup dalam Tatanan Masyarakat dan Kenegaraan yang Damai, Aman dan Tentram, yang Menghormati, Melindungi dan Melaksanakan Sepenuhnya HAM dan Kewajiban Daar Manusian.
Manusia pada dasarnya memiliki seperangkat hak yang disebut sebagai hak asasi manusia. Negara, yang telah diberikan mandat untuk mengatur dan mengelola segala potensi yang ada berkewajiban untuk mengupayakan penghormatan, perlindungan dan pelaksanaan HAM. Selain memiliki hak asasi, manusia juga memiliki kewajiban dasar dan hal yang juga tidak dapat di abaikan bahwa negara harus mengatur rakyatnya agar melaksanakan kewajibannya sebagai manusia. dengan cara seperti itu, diharapkan agar dapat terwujud keamanan, kedamainan danketentraman yang merupakan dambaan manusia.
Hak yang terakhir dari kelompok hak atas rasa aman menurut UU HAM ini tidak ditemukan secara eksplisit dalam instrumen-instrumen internasional HAM maupun UUD 1945. Hak ini memeng begitu luas jangkauannya dan sangat ideal sifatnya. Bila kita menyimpulkan, sesungguhnya hak yang dijamin Pasal 33 UU HAM adalah tujuan akhur dari diberikannya hak asasi kepada manusia.
Dari paparan di atas terlihat bahawa hak atas rasa aman termasuk keamanan fisik, psikis dan juga harta benda seseorang yang harus dilindungi dari gangguan pihak lain. Perlindungan atas hak ini diberikan melalui hukum , terutama dalam memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar hak atas rasa aman seseorang.
Upaya permenuhan perlindungan dan penegakan hak atas rasa aman ini merupakan tanggung jawab aparat penegak hukum, terutama polisi yang berperan secara langsung dari permasalahan ini. Akan tetapi kita juga tidak boleh mengabaikan peran serta masyarakat, baik secara informal dalam bentuk penjagaan dilingkungan masing-masing ataupun dalam bentuk formal seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM).        

Pengertian dan Ruang lingkup Saksi

Dalam khasanah pengetahuan hukum Indonesia, terdapat berbagai definisi atau pengertian dari saksi, baik itu dalam KUHAP, peraturan perundang-undangan lainnya, maupun pendapat para pakar hukum. 
KUHAP sebagai ketentuan pokok yang mengatur hukum acara pidana yang bersifat umum (lex generalis) berlaku bagi semua tindak pidana kecuali yang mengaturnya secara menyimpang/ khusus (lex specialis) dalam undang-undang khusus, telah memberikan definisi atau pengertian "saksi" dalam Pasal 1 butir 26, yaitu:
"Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri."

Definisi saksi di atas cukup luas atau umum, sehingga yang termasuk dalam pengertian saksi bisa orang yang menjadi korban, pelapor, pengadu, maupun orang lain yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di muka sidang pengadilan.
Kebanyakan undang-undang pidana khusus yang dibuat sesudah berlakunya KUHAP tidak memberikan definisi atau pengertian saksi secara khusus, artinya, saksi yang dimaksud dalam undang-undang tersebut mengacu pada pengertian saksi yang diatur dalam KUHAP. Memang ada beberapa perundang-undangan yang memberikan definisi saksi, walaupun tidak ada perbedaan secara mendasar dengan yang diatur dalam KUHAP.
Pengertian saksi yang lebih luas  dapat diketemukan dalam Peraturan Pemerintah No.  2  tahun 2002 tentang  Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memberikan definisi saksi sebagai:
"orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri, yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun" (Pasal 1 butir 3).
Perbedaan dengan definisi yang diberikan KUHAP adalah diperluasnya pengertian meliputi juga orang yang memberikan keterangan untuk kepentingan penyelidikan, di samping penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan. Karena PP ini mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban, maka pengertian saksi di sini juga dipersempit hanya saksi yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun  2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003, dalam Pasal 1 butir 3 memberikan pengertian saksi sebagai:
"orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri."
Definisi ini sama dengan KUHAP, hanya ada pengkhususan untuk pemberian keterangan  pada perkara pidana pencucian uang. Berbeda dengan KUHAP yang tidak memberikan pengertian khusus tentang "pelapor" (sehingga masuk dalam pengertian saksi), UU Pencucian Uang dan PP-nya di atas ada membedakan secara tegas antara saksi dengan pelapor.  Pasal 1 butir 2 PP No. 57 tahun 2003 menyebutkan:
"Pelapor adalah setiap orang yang:
a.      karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang; atau
b.      secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang".
            Dengan adanya pembedaan antara saksi dan pelapor ini, apakah berarti dalam perkara pencucian uang pelapor itu bukan saksi? Pertanyaan dan penegasan ini penting kerena berkaitan dengan hak-hak saksi yang dijamin oleh KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Kalau pelapor itu bukan saksi, maka mestinya ia tidak memperoleh hak-hak perlindungan sebagai saksi. Ia hanya memperoleh perlindungan sebatas yang diberikan undang-undang terhadap pelapor. 
Pelapor pada hakekatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak memberikan kesaksian di persidangan. Perlindungan hukum dalam undang-undang ini lebih ditujukan terhadap pelapor sebagaiman di atas. Ketentuan yang demikian adalah janggal, karena justru saksi yang memberikan kesaksian di muka penyidik atau hakim tidak diatur secara eksplisit perlindungannya.
Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang  Perlindungan Saksi dan Korban sebagai produk hukum terbaru yang secara khusus mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, memberikan pengertian saksi dan korban, akan tetapi tidak memberikan pengertian tentang pelapor. Pengertian Saksi adalah (Pasal 1 butir 1):
"orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri)." 
Sedangkan Korban adalah  (Pasal 1 butir 2):
 "seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana". 
Jadi, definisi saksi yang dipakai oleh UU PSK mengikuti (cakupan) definisi yang dibuat dalam  Peraturan Pemerintah No.  2  tahun 2002 tentang  Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat maupun Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Peyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme, meliputi juga yang memberikan keterangan pada (mulai) tahap penyelidikan, sedangkan menurut KUHAP, hanya dimulai pada tahap penyidikan.
Mengingat UU PSK ini merupakan undang-undang yang bersifat umum (The Umbrella Act.) yang mengatur tentang saksi dan korban, maka harus dipahami bahwa ketentuan dalam undang-undang ini berlaku untuk saksi dan korban semua tindak pidana, walaupun dalam peraturan peralihan Pasal 44 dikatakan bahwa pada saat Undang-undang ini diundangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
B.  Macam-Macam Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana 
Dalam konteks sistem peradilan pidana,  secara yuridis, saksi adalah "orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri". Sedangkan secara sosiologis, pengertian saksi sering dipahami meliputi juga "ahli", maka populer istilah "saksi ahli". Akan tetapi secara yuridis, antara "saksi" dan "(saksi) ahli" adalah berbeda, sehingga di dalam Pasal 184 KUHAP dibedakan antara "keterangan saksi" dan "keterangan ahli" sebagai dua alat bukti yang berbeda.
"Keterangan saksi", menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, adalah:
"salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu".

Sedangkan "Keterangan ahli" menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP adalah:
"keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan".

Dari rumusan di atas diketahui bahwa saksi bisa orang yang melihat, mendengar, atau orang yang mengalami tindak tindak pidana. Jadi salah satu saksi yang sangat potensial adalah korban tindak pidana itu. Sedangkan orang yang mendengar dari orang yang mendengar tindak pidana atau yang populer dengan adagium testimonium de auditu tidak dapat menjadi saksi dalam perkara  pidana.
Dalam praktek hukum acara pidana, saksi dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
a.       Saksi korban;
b.      Saksi mahkota;
c.       Saksi verbalisan;
d.      Saksi a charge;
e.       Saksi a de charge.

C.  Kedudukan dan Peranan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana
Sebagaimana diketahui, bahwa jumlah personil penyelidik dan penyidik sangatlah terbatas, dibandingkan dengan besarnya jumlah penduduk Indonesia dan luasnya wilayah negara republik Indonesia, sehingg tidak mungkin dapat meng-cover setiap setiap tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Karena itu, bantuan anggota masyarakat (sebagai saksi) untuk melaporkan dan atau mengadukan tentang terjadinya tindak pidana sangat membantu penyelidik dan penyidik dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana itu. Jadi, saksi (pelapor dan/atau korban)  sudah memiliki kontribusi penting sejak dimulainya proses penanganan perkara pidana (penyelidikan), demikian juga dalam proses selanjutnya, yaitu pemeriksaan di tingkat penyidikan maupun pembuktian di muka sidang pengadilan. Banyak kasus yang "nasib"nya ditentukan oleh ada tidaknya saksi, walaupun saksi bukan satu-satunya alat bukti.
Dalam tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah penting, bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus,   karena bisa memberikan "keterangan saksi" yang ditempatkan menjadi alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.  Bahkan seorang praktisi hukum, Muhammad Yusuf, secara ekstrim mengatakan, bahwa tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi durk number mengingat dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah testimony yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli. Berbeda dengan sistem hukum yang berlaku di Amerika yang lebih mengedepankan barang bukti.
Keterangan saksi yang memenuhi syarat dan bernilai sebagai alat bukti secara yustisial haruslah:
a.      Memberikan keterangan yang sebenarnya sehubungan dengan tindak pidana yang sedang diperiksa. Keterangan saksi haruslah murni berdasarkan kesadarannya sendiri, dan didukung oleh latar belakang dan sumber pengetahuannya.
b.      Keterangan saksi yang relevan untuk kepentingan yustisial.
                                                  i.      "Yang ia dengar sendiri";
                                                ii.      "Yang ia lihat sendiri"; atau
                                              iii.      "Yang ia alami sendiri".
                                               iv.      Hasil pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri dimaksud harus didukung suatu alasan "pengetahuannya" yang logis dan masuk akal.
                                                v.      Jumlah saksi yang sesuai untuk kepentingan peradilan sekurang-kurangnya dua (Pasal 182 ayat (2) KUHAP: unus testis nullus testis, satu saksi bukan saksi).
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan (Pasal 185 ayat (6) KUHAP):
1)   Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain;
2)   Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang sah lainnya;
3)   Alasan yang mungkin dipergunakan saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu;
4)   Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
       
 Peranan  "ahli" atau "saksi ahli" dalam perkara pidana juga sangat penting, sehingga "produk" dari ahli yang disebut dengan "keterangan ahli" juga menjadi salah satu alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP.



Ketentuan yang sama dapat diketemukan dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Peyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme sebagai peraturan pelaksanaan dari  UU No.  15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, yang menyebutkan,  "Saksi adalah orang yang memberi keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara tindak pidana terorisme yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri" (Pasal 1 butir 2).

Lukman Ali. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Jakarta: Balai Pustaka.  Hal.566. "Pelapor adalah orang yang melaporkan".

Sementara yang dimaksud "pelapor" di dalam  Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, adalah "orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana".
KUHAP sendiri tidak memberi definisi pelapor, tetapi memberi definisi "laporan" dalam  Pasal 1 angka 24, yaitu "pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan Undang-Undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana". Jadi istilah pelapor menunjuk pada pelaku (orang)  yang memberitahukan sebagaimana di atas.

Pasal 1 butir 26 KUHAP

Dari rumusan Pasal 1 butir 28 KUHAP dapat diketahui yang dimaksud "ahli" adalah "seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan".

"Saksi A Charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan  diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa." Darwan Prinst. 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan. Hal. 142.

"Saksi A De Charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh Penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum yang sifatnya memberatkan terdakwa." Ibid.

Muhammad Yusuf. Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi. (Tulisan Pakar)  http://Parlemen net. 31/08/2005. page 1. 

M. Yahya Harahap. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Hal.141-142.