Alur laut kepulauan Indonesia (ALKI)
Air Laut Kepulauan Indonesia
Sejak diproklamasikan pada tahun 1945, Indonesia menganut prinsip-prinsip hukum laut peninggalan kolonial yaitu Territoriale Zee En Maritime Kringen Ordonantie 1939, StbNo. 442. Sejalan dengan perkembangan sejarah, pada tanggaf 13 Desember 1937 Indonesia mendeklarasikan kedaulatannya secara bulat dan penuh terhadap pulau dan laut antaranya dan menyatakan bahwa seluruh kepulauan Indonesia adalah merupakan suatu kesatuan dan laut antara pulau Indonesia dianggap sebagal perairan pedalaman yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Guna melegalisasi deklarasi ini, pemerintah Indonesia mengundangkan Perpu No. 4/Prp/I 960 tentang Perairan Indonesia yang berasaskan pada pokok.pokok pemikiran sebagai berikut:
• Untuk kesatuan bangsa, lntegritas wilayah dan kesatuan ekonominya ditarik garis pangkal Iurus yang menghubunglcan titik terluar dari pulau-pulau terIuar;
• Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis pangkal Iurus ini termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya maupun ruang udara di atasnya. dengan segala kekayaan alam yang tekandung didalamnya;
• Jalur laut wilayah selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal Iurus;
• Hak lintas damai kendaraan alr/kapal asing melalui peralran nusantara dijamin selama tidak merugikan kepentlngan negara pantai dan mengganggu keamanan dan ketertibannya.
Sejalan dengan pemberlakuan Konvensl PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut, dalam rangka menindaklanjuti implementasi nasional, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantlkan UU No. 4/Prp/ 1960 dan PP No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Titik.titik Ganis Pangkal Kepulauan indonesia di Laut Natuna di mana dua yang tersebut terakhir ml merefleksl implementasi kebijakan ketautan Indonesia cesuai Konvensi, utamanya dalam rangka menetapkan secara tegas wifayah penman lndonesta sebagai negara kepulauan sesuai dengan ketentuan Konvensi.
Sejalan dengan pertimbangan di atas, diperlukan upaya harmonisasi Iegislasl nasional agar selaras dengan Konvensi agar dapat merefleksikan komitmen dan konsistensi Indonesia terhadap Konvensi. Hal ini mencakup upaya revisi beberapa produk perundang-undangan nasional a.l. sebagai berikut:
(1) UU No. I tahun 1973 tentang Landas Kontinen;
(2) UU No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
(3) UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan;
(4) UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran;
Perkembangan terakhir, Pemerintah RI melalui departemen terkait sedang mempersiapkan beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang merupakan ImpIementasi Iebih Ianjut Konvensi yaitu antara lain:
• RUU tentang Pemanfaatan Perairan Indonesia dan Zona Tambahan serta Penegakan Hukum di Perairan Indonesia dan Zona Tambahan;
• RUU tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi;
• RPP tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Aslng yang Melaksanakan Hak Lintas AIur Laut Kepulauan Melalui AIur Kepulauan yang Ditetapkan;
• RPP tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Perairan Indonesia:
• RPP tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia;
• RPP tentang Tertib Pelayaran.
Perjuangan Indonesia guna memperoleh pengakuan masyarakat lnternasional atas konsep negara kepulauan telah berhasil dicapai dengan diterima dan dicantumkannya prinsip Negara Kepulauan pada Bab. IV Konvensi PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut. Namun demikian, dalam prakteknya Indonesia harus mempertimbangkan dan mengakui hak.hak negara lain, terutama kapal militer/armada laut untuk melintas di perairan kepulauan Indonesia. Khususnya di daerah-daerah yang selama ini biasa dipergunakan untuk pelayaran lnternasional, Konsesi ini dlberikan oleh negara kepulauan dalam bentuk alur Iaut kepulauan seperti tercantum pada Pasal 53 Konvensi PBS tabun 1982 tentang Hukum Laut.
Untuk memenuhi ketentuan tersebut, pada tahun 1996, Indonesia telah mengajukan kepada International Maritime Organization (IMO) dl London, proposal Alur laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang terdiri dari 3 (tiga) buah ALKI Utara-SeIatan, yaltu ALKI I, ALKI II clan ALKI III yang di bagian selatan bercabang tiga menjadl ALKI A, B dan III-C. Proposal ini secara aklamasi telah diterima pada sidang Maritime Safety Committe l lnternational Maritime Organization – MSC I IMO ke-69 tanggal 19 Mel 1998. Adapun alur laut kepulauan yang rnelalui perairan Indonesia tersebut adalah sebagai berikut:
ALKI I : Selat Sunda – Selat Karimata – Laut Natuna – Laut Cina Selatan
ALKI II : Selat Lombok – Selat Makassar – Laut Sulawesi
ALKI III-A : Laut sawu – Selat Ombai – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – LAut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik
ALKI III-B : Laut Timor – Selat Leti – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – Laut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik
ALKI III-C : Laut Arafuru – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – Laut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik
Di tingkat nasional, dalam rangka implementasi ALKI yang teIah ditetapkan tersebut, Pemerintah RI telah melakukan serangkaian kegiatan penting diantaranya dengan menetapkan garis-garis pangkal kepulauan Indonesia dan koordinat-koordinat ketiga ALKI tersebut Saiah satu hasil penyesuaian tersebut adalah garis-garis pangkal kepulauan di laut Natuna yang dilewati oleh ALKl-I dengan memasukkan sebagian ZEE di daerah tersebut menjadl perairan kepulauan. Penyesuaian garis pangkal dl laut Natuna tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.6 /1998 tentang Daftar Koordinat Titik-titik Garis PangkaI Kepulauan Indonesia di laut Natuna dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggri dan disampaikan ke IMO. Daiam kaitan ini Indonesia merupakan negara pertama yang menetapkan alur Iaut kepulauannya sesuai ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982.
Sejalan derigan keputusan MSC-69 seperti tersebut dl atas, dalam rangka pemberlakuan ALKI secara internasional, Pemerintah RI diwajlbkan untuk mengundangkannya dalam peraturan nasionalnya dan disampaikan kepada IMO untuk diumumkan. Dalam kaitan ini, Departemen Luar Negeri selaku koordinator masalah ALKI yang berdimensl Internasional bersama-sama dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan (d/h Departemen Kehakiman) telah merarnpungkan Rancangan Peraturan Pemerlntah yang saat ini teIah siap untuk diproses pengesahannya. RPP ini memuat tentang penetapan ALKI dan ketentuan tentang Hak-hak dan Kewajiban Kapal Asing dl ALKI.
Namun perubahan wilayah Indonesia sebagal konsekuensi hasil jajag pendapat dl Timor Timur pada tahun 1998 secara Iangsung mernpengaruhi penerapan salah satu ALKI yaitu ALKI III khususnya dl bagian Ill-A dan Ill-B. Jalur ALKI-III-A dan III-B yang karena pemisahan tersebut, tidak lagi melintasi wilayah teritorial Indonesia tetapi diperkirakan akan melewati wilayah teritorial dan ZEE Timor Timur. Bagi Indonesia, hal ini sudah tidak lagi memenuhi kriteria dan kaidah hukum internasional sesuai dengan pasal 53 (I) Konvensi tentang jalur ALKI sehingga penanganan leblh Ianjut penerapan ALKI yang sesuai dengan kaidah hukum lnternasional dan komitmen Indonesia dalam menangani seluruh masalah hukum laut secara terpadu melalui mekanisme institusi Konvensi perlu terus ditegakkan, termasuk penyelesaian masalah ini dengan bakal negara Timor Timur.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Direktorat PI telah melakukan serangkaian persiapan untuk mengantisipasi segala kemungkinan atas rencana perubahan jalur ALKI-lIl dimaksud melalui pembahasan pada rapat-rapat baik di tingkat teknis Informal maupun interdep. Memenuhi hasil keputusan tersebut, Pemerintah RI telah mengirimkan delegasi ke Sidang Maritime Safety Comrnitee-International Maritime Organization (MSC IMO) ke-72 pada bulan Mei 2000 di London. Pada kesempatan sidang tersebut delegasi RI telah menyampaikan informative statement berkenaan dengan keputusan untuk melakukan penyesuaian jalur ALKI III-A dan Ill-B yang melewatl wilayah sekitar pulau Timor. Sidang menerima informasi Pemri tersebut dan menugaskan Sekretariat IMO khususnya Maritime Safety Division untuk membantu rencana Pemri dimaksud. Delegasi AS dan Australia yang dihubungi oleh Direktur PI sebagai ketua delegasi pada kesempatan sidang tersebut telah pula menyampaikan dukungannya dan berharap agar rencana Pemri untuk melakukan konsultasi Informal dengan kedua negara di Jakarta perihal maksud perubahan tersebut dapat dilaksanakan pada waktu yang tepat.
19 (SEMBILAN BELAS) PERSYARATAN MELALUI ALKI
ALKI yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dan telah diadopsi oleh IMO disertai 19 (sembilan belas) persyaratan yang harus dipatuhi oleh kapal dan pesawat udara yang melaksanakan hak lintas Alur Kepulauan Indonesia meliputi :
1. Kapal-kapal di ALKI tidak akan mengganggu atau mengancam kedaulatan, integritas teritorial atau kemerdekaan dan persatuan nasional Indonesia. Kapal-kapal tersebut tidak akan melaksanakan setiap tindakan yang berlawanan dengan pirnsip-prinsip hukum internasional seperti yang ditetapkan dalam piagam PBB.
2. Pesawat terbang di dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan tidak dibolehkan untuk terbang di luar alur laut (diatas atau dengan pengecualian rejim ICAO) dan pesawat terbang tidak diijinkan terbang terlalu dekat dengan pulau-pulau atau daratan di dalam teritorial Indonesia, termasuk daerah dalam ALKI.
3. Pesawat terbang sipil asing yang melalui ALKI harus mengikuti aturan-aturan penerbangan sipil internasionl seperti yang ditetapkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization).
4. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing ketika sedang melewati alur laut, tidak dibolehkan melaksanakan latihan perang-perangan.
5. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing, yang merupakan satuan-satuan kapal perang asing, di samping kepal-kapal yang menggunakan tenaga nuklir, yang sedang melewati alur laut, diharapkan untuk memberitahukan kepada Pemerintah Indonesia (yaitu Panglima TNI) terlebih dahulu untuk kepentingan keselamatan pelayaran dan untuk mengambil tindakan pemulaan yang diperlukan jika terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan.
6. Kapal-kapal yang membawa bahan nuklir diharuskan mempunyai peralatan perlindungan keamanan dan tetap berhubungan dengan TNI AL, sesuai dengan konvesi perlindungan fisik bahan-bahan nuklir.
7. Pesawat terbang militer asing yang terbang di atas ALKI harus memperhatikan keselamatan penerbangan sipil dan tetap berhubungan dengan ATC (Air Traffic Control) yang berwenang di samping memantau frekuensi darurat.
8. Kapal-kapal asing atau pesawat terbang yang sedang transit sebaiknya bergerak secara hati-hati di ALKI yang penuh dengan kegiatan ekonomi (baik perikanan atau pertambangan). Untuk itu, kapal atau pesawat terbang yang sedang transit memperhatikan aturan-aturan yang menetapkan batas daerah pelayaran 1.250 m dari instalasi minyak dan gas, dan dilarang memasuki batas daerah aman 500 m sekitar instalasi minyak dan gas dan selalu memperhatikan dan berhati-hati terhadap pipa dan kabel laut.
9. Kapal-kapal ikan asing harus tetap menyimpan peralatan penangkapan ikan sewaktu transit, dan dilarang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan ketika transit.
10. Kapal-kapal yang melintas transit diperairan alur laut harus berhati-hati dan harus menggunakan peraturan sistem keselamatan navigasi internasional, serta dapat menunjukkan kemampuan sebagaimana kapal setempat atau sebagaimana nelayan dan pelaut setempat.
11. Setiap kapal-kapal yang melintas transit dilarang membuang benda-benda sisa beracun atau benda berbahaya seperti sampah di perairan Indonesia.
12. Setiap kapal dilarang untuk melakukan pembersihan tangki-tangki kapal atau mengotori wilayah perairan Indonesia di saat melakukan lintas transit.
13. Pada saat kapal-kapal melintas tidak diizikan untuk berhenti atau membuang sauh atau bergerak dengan formasi zig-zag berbolak-balik kecuali bila menghadapi situasi darurat atau situasi sulit.
14. Kapal-kapal yang melintas transit tidak diizinkan untuk menurunkan personel, material atau melakukan pemindahan/transfer personel dari dan ke kapal lain atau melayani berbagai kegiatan yang bertentangan dengan aturan-aturan keimigrasian, kepabeanan dan perekonomian ataupun kondisi kesehatan di wilayah Indonesia.
15. Kapal-kapal dan pesawat terbang yang melintas transit tidak diizinkan untuk memberikan bantuan dan pelayanan pada pekerjaan survei atau penelitian ilmu pengetahuan kelautan, termasuk melakukan pengambilan contoh yang bertujuan untuk melakukan penyelidikan bersamaan dengan saat melintas, tidak seharusnya melakukan kegiatan yang berbentuk aktivitas survei atau penelitian ilmu pengetahuan kelautan meliputi perairan alur laut Indonesia dan juga wilayah yang berada diatasnya.
16. Kapal-kapal dan pesawat terbang yang melintas transit dilarang melakukan pemancaran siaran-siaran yang tidak mendapat ijin atau memancarkan gelombang elektromagnetik yang dimungkinkan akan mengganggu sistem telekomunikasi nasional dan dilarang mengadakan komunikasi langsung dengan pihak-pihak perorangan atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki ijin resmi di wilayah Indonesia.
17. Kapal-kapal yang melintas transit harus selalu memenuhi peraturan keselamatan navigasi internasional yang telah ditentukan.
18. Awak kapal yang memiliki muatan kapal dapat dikenakan denda baik secara individu maupun secara kelompok bila menimbulkan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh mereka. Mereka harus mempunyai nilai asuransi yang cukup mampu untuk membayar atas kerusakan yang ditimbulkannya, termasuk kerusakan lingkungan laut sebagai akibat dari kerusakan lingkungan.
19. Untuk tujuan keselamatan navigasi dan untuk keselamatan di wilayah Indonesia, maka setiap kapal tanker asing, kapal penjelajah yang menggunakan energi nuklir, kapal penjelajah asing yang membawa muatan yang mengandung nuklir atau material berbahaya lain, kapal ikan asing dan termasuk kapal perang asing yang melintas di perairan Indonesia dari perairan ZEE atau dari wilayah laut lepas atau dari perairan ZEE menuju keperairan laut lepas dan melintasi perairan Indonesia hanya diijinkan melintas melalui alur laut yang sudah ditentukan
0 komentar:
Posting Komentar