Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan korban Sebagai Perwujudan Hak asasi manusia
Pada saat dilahirkan kedunia, manusian sebagai makhluk ciptaan Tuhan membawa sejumlah hak dasar yag disebut sebagai Hak Asasi Manusia. Jika ada hak yang bersifat fundamental, tentu saja hak itu adalah hak atas hidup, keutuhan jasmani (hak atas rasa aman), dan kebebasan. Ketiga hak ini pada dasarnya merupakan hak dasar yang tidak dapat di hilangkan dan dikurangi dari setiap manusia dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Hak atas keamanan pribadi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh saksi dan korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 (yang biasa disebut Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban). Jika dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hak atas keamanan prbadi merupakan salah satu kategori dalam hak atas rasa aman. Perlindungan hak atas keamanan pribadi yang dibutuhkan oleh saksi dan korban dalam proses peradilan pidana adalah rasa aman yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 UU HAM pada saat memberikan kesaksiannya selama proses peradilan.
Pada dasarnya hak atas rasa aman memeng berkaitan dengan tidak adanya gangguan dan rasa takut. Singkatmna, hak tersebut berkaitan erat dengan ketentraman dan ketenangan yang selayaknya yang dimiliki oleh setiap manusia dalam menjalani kehidupannya dalam masyarakat. Untuk memahami hak atas rasa aman, Undang-Undang Hak Asasi Manusia menjabarkan lebih jauh lagi dalam 10 jenis hak, yaitu:
a. Hak Untuk Mencari Suaka Politik dan Untuk Memperoleh Perlindungan Politik dari Negara Lain.
Pendapat dan kritik tentang penyelenggaraan pemerintahan di suatu negara sesungguhnya menjadi suatu hal yang wajar dan lumrah. Oleh karena hal tersebut merupakan masukan bagi pemerintah. Akan tetapi tidak jarang kritikan yang dilontarkan terhadap kebijakan pemerintah dianggap sebagai upaya menggulingkan pemerintah. Sebagai ‘lawan’ dari penguasa, tidak heran bila mereka yang melakukan hal tersebut mendapat tekanan dan dapat dituduh sebagai pelaku kejahatan terhadap negara dan pemerintah, yang ancaman hukumannya yaitu penjara, bahkan mungkin sampai hukuman mati.
Orang-orang yang ‘terancam’ oleh penguasa ini sesungguhnya dapat mencari suaka politik guna mencari perlindungan politik dari negara lain. Hal ini merupakan salah satu hak asasinya. Maka mereka harus diberi kebebasan untuk pergi ke kedutaan besar negara lain atau pergi ke negara lain untuk meminta perlindungan. UUD 1945 menjamin hak mereka ini dalam Pasal 28 G Ayat (2) dan kemudian ditegaskan pada UU HAM Pasal 28 (1). Meskipun ada pembatasan yang diberikan undang-undang ini dalam ayat (2) dari pasal yang sama, bahwa hak untuk mencari suaka politik itu tidak diberikan kepada mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan perinsip PBB.
Jadi, untuk meminta suaka politik hanya diperuntukkan bagi kejahatan-kejahatan politik, yaitu yang berkaitan dengan perbedaan pendapat mengenai ideologi yang memungkinkan diberi perlindungan. Sementara yang bersifat nonpolitik, yaitu yang bersifat kriminal misalnya, menghilangkan nyawa, merampas harta milik orang lain dan lain sebagainya, tidak dimungkinkan untuk diberi hak semacam itu.
b. Hak atas Perlindungan Diri Pribadi, Keluarga, Martabat dan Hak Miliknya.
Hak ini semakin mengintegritaskan manusia, karena dalam hak ini menegaskan bahwa diri (pribadi), keluarga, kehormatan, dan hak milik seseorang harus dilindungi. Hal ini yang menjadi perundingan dalam pasal ini adalah kepentingan-kepentingan yang mendapat prioritas perlindungan dalam hukum. Perlindungan khusus dalam bentuk peraturan pidana, yang sanksinya memungkinkan untuk seseorang kehilangan harta, kebebasan ataupun kehilangan nyawanya.
Dalam instrumen internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 12 dan 17 Ayat (2) maupun di International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 17 Ayat (1) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum, instrumen HAM dan hukum dalam negeri, yaitu Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang telah diamandemen dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia tentu saja juga meniliki ketentuan yang melindungi kepentingan-kepentingan yang telah diakui secara universal tersebut. Setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya. Bahkan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu dalam bentuk memberikan ancaman hukuman terhadap perbuatan yang dianggap undangt-undang ini sebagai kejahatan karena merugikan orang lain.
Untuk perlindungan terhadap diri sendiri dan keluarga, adanya seperangkat ketentuan tentang kejahatan kerhadap nyawa, seperti pembunuhan ( Pasal 338 – Pasal 349) jelas dapat menjadi landasan hukum untuk memberikan perlindungan yang diharapkan.
Dari uraian diatas, kita bisa menihat bahwa dalam hukum materiil telah ada sejumlah ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap diri sendiri, keluarga, martabat, kehormatan dan hak milik. Perlindungan-perlindungan ini ternyata merupakan hak setiap orang yang ada di Indonesia, tidak terbatas pada warga negara saja. Dengan adanya ketentuan-ketentuan ini, aparat hukum memiliki tugas untuk memproses setiap bentuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut.
c. Hak Aaas Pengakuan di Depan Hukum Sebagai Manusia Pribadi Dimana Saja Berada
Sejumlah hak yang dibawah manusia sejak lahir sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, akan sulit diimplementasikan apabila belum ada hukum yang secara tegas mengakuinya. Dalam negara yang sangat menjunjung tinggi idioligi demikrasi, hukum menjadi landasan setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengakuan sebagai manusia pribadi di depan hukum dimanapun ia berada, menurut Pasal 6 DUHAM, merupakan hak setiap orang. Bahkan oleh Pasal 7 DUHAM yang telah diakui sebagai norma internasional ini, ditambahkan bahwa semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Sebagai negara hukum, Indonesia seperti yang telah dinyatakan dalam UUD 1945, mengakui kesamaan kedudukan dimuka hukum bagi segala warga negara (Pasal 27). Berdasarkan amandemen kedua, kemudian dicantumkan pada Pasal 28 D Ayat (1) yang memperluas dan mempertegas hak ini. Pasal-pasal tersebut pada intinya menytakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dimuka hukum. Disamping itu, ditegaskan bahwa hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat di hilngkan atau dihapuskan dalam keadaan apapun.
UU HAM, sebagai organik secara tegas mencantumkan hak ini dalam Pasal 29 Ayat (2). Ketentuan ini seharusnya menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum dalam memperlalukan setiap orang.
d. Hak atas Rasa Aman dan Tentram serta Perlindungan Terhadap Ancaman Ketakutan untuk Berbuat atau Tidak Berbuat Sesuatu
Manusia tak mungkin hidup sendiri. Sudah menjadi kodratnya ia harus hidup bersama-sama dengan manusia yang lain., karena ia mempunya berbagai keperluan dasar yang hanya dapat dipenuhi apabila ia hidup secara bermasyarakat. Akan tetapi, kehidupan bermasyarakat penuh denga friksi dan benturan kepentingan antara satu individu dengan individu yang lain, yang kemudian dapat berkembang menjadi suatu konflik. Hal ini disebabkan oleh sifat dasar manusia yang cenderung mementingkan dirinya sendiri dan ingin berkuasa. Oleh seban itulah, sering muncul tindak kesewenang-wenangan dari pihak yang merasa kuat dan berkuasa terhadap pihak yang lain yang lemah dan takberdaya. Untuk mencapai keinginannya, pihak yang kuat menggunakan berbagai macam cara, misalnya mengancam, sehingga pihak yang lemah menjadi ketakutan untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu. Dalam kondisi ini tentunya tidak ada rasa aman dan tentram pada diri pihak yang lemah . mereka melakukan sesuatu dalam keadaan ketakutan, bahkan ada kalanya mereka berbuat sesuatu tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 30 UU HAM menyatakan secara tegas bahwa hak ini dimiliki oleh setiap orang. Pasal 28 G Ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan hal yang serupa. Sebagai jamina pelaksanaan hak ini, KUHP telah memuat sejumlah pasal yang melarang dan mengancam dengan sanksi hukuman penjara bila seseorang mengancam orang lain untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Misalnya, seseorang yang memaksa orang lain untuk tidak memberikan kesaksian yang sebenar-benarnya. Dalam contoh ini sudah jelas bahwa korban adalah orang yang dipaksa tersebut. Namun ada kalanya pihak ketiga yang dituju oleh pemaksa dan untuk itu ia memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan yang masuk dalam kategori kejahatan. Orang yang terpaksa melakukan kejahatan ini juga mendapat perlindungan hukum melalui ketentuan Pasal 48 KUHP. Pasal ini secara tegas mengatakan bahwa orang yang melakukan kejahatan karena adanya daya paksa tidak dapat dipidana, tapi justru orang memaksanya itulah yang akan dipidana.
e. Hak untuk Tidak Diganggu Tempat Kediamannya
Disamping sandang dan pangan, rumah atau tempat kedaman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai tempat berteduh. Pada umumnya, rumah menjadi tempat sebagian orang menghabiskan sisa waktunya setelah seharian berada diluar rumah untuk bekerja mencari nafkah, sekolah ataupun melakukan aktifitas lainnya. Jadi rumah atau tempat kediaman merupakan tempat yang harus dapat memberikan rasa aman dan tentram bagi mereka yang menempatinya. Hal ini secara tegas di sebutkan dalam DUHAM dan ICCPR. Pada Pasal 12 DUHAM dan Pasal 17 Ayat (1) dan (2) ICCPR menyatakan bahwa tidak seorangpun yang boleh diganggu dengan sewenang-wenang dalam urusasn rumha dan setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum bila terjadi gangguan atau serangan terhadap tempat tinggalnya.
Dalam UUD 1945 memang tidak ada pasal yang secara tegas menyebutkan hak untuk tidak diganggu dalam rumahnya. Akan tetapi, sebagai hasil amandemen kedua Pasal 28 G Ayat (1) memberikan hak kepada setiap orang atau perlindungan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya. Jadi, UUD 1945 justru lebih luas dalam memberikan perlidungan, tidak hanya rumah saja yang dapat diberikan perlindungan. Setiap harta benda yang berda di bawah kekuasaannya juga mendapatkan perlindungan yang serupa.
Penambahan Pasal 28 G, yang masuk dalam bab tentang HAM memang dilakukan untuk penyelarasan, karena sebelumnya UU HAM telah mencantumkan berbagai hak asasi manusia, yang salah satunya adalah hak untuk tidak diganggung tempat kediamannya (Pasal 31). Penjelasan Pasal 31UU HAM menyatakn bahwa kata “ tidak boleh diganggu” berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya. Jadi, penjelasan pasal ini menyiratkan bahwa ruang lingkup hak ini sangat sempit. Sebaliknya, ketika kita membaca rumusan Pasal 31 akan diperoleh kesimpulan yang berbeda, yaitu fokus perhatian tidak semata-mata tertuju pada kehidupan pribadi, tetapi pada tempat kediaman dan rasa aman yang harus dimiliki oleh setip orang.
Sebagai salah satu contoh sebagai salah satu ketentuan hukum yang memberikan perlindungan pada hak ini adalah Pasal 167 KUHP yang menjelsakan secara tegas mengancam dengan hukumna penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-, bila orang tanpa hak masuk dengan paksa kedalam rumah, ruang tertutup dan tudak segera pergi ketika diminta pergi oleh yang berhak atau atas nama orang yang berhak. Bahkan, hukuman untuk kejahatan yang biasa disebut dengan pelanggaran hak kebebasan rumah tangga (huisvredebruik) ini dapat diperberat menjadi pidana penjara satu tahun empet bulan bila pelaku mengeluarkan ancaman atau memakai daya upaya yang menakutkan.
Ketentuan Pasal 167 KUHP ini sejalan dengan makna ketentuan Pasal 31 Ayat (2) UU HAM, yang hanya memperbolehkan seseorang memasuki kediaman atau rumah tanpa seizin orang yang mendiaminya bila telah ditentukan oleh undang-undang.
f. Hak untuk Berhubungan Surat Menyurat termasuk Hubungan Berkomunikasi Melalui Sarana Elektronik secara Merdekan dan Rahasia
Pada masa sekarang ini, berbagai keperluan dapat dilakukan dari jarak jauh dengan menggunakan/memanfaatkan sarana-sarana komunikasi baik surat menyurat maupun sarana elektronik demi menghemat waktu, tenaga, dan juga biaya. Berbagai mcam urusan yang bersifat pribadi, kekeluargaan, bisnis, sampai urusan antar kepala negara, tidak jarang dilakukan tanpa harus bertemu langsung. Oleh karena itu, merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan hak asasi untuk berkomunikasi ini juga lengkap dengan memberikan rasa aman untuk melakukan komunikasi tersebut secara merdeka dan rahasia.
Pasal 12 DUHAM dan Pasal 17 Ayat (1) dan (2) ICCPR menyatakan dengan tegas bahwa tidak seorangpun dapat diganggu secara sewenang-wenang dalam hubungan surat menyurat. Khusus untuk Indonesia dalam UUD 1945 sampai dengan amandemen yang keempat, tidak dijumpai ketentuan yang seperti itu. Padaha dalam masalah komunikasi, UUD 1945 dalam Pasal 28 F telah memberikan hak untuk berkomunikasi pada semua orang. Sementara UU HAM, dalam Pasal 32 menjamin kemerdekaan dan kerahasiaan dalam hubungan surat menyurat termasuk hubungan berkomunikasi melalui sarana elektronik, kecuali ada perintah hakim ataukekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi, pada dasarnya surat milik seseoang tidak boleh dibuka dan diambil oleh orang lain yang tidak berhak, ataupun pembicaraan telepon seseorang dengan orang lain tidak boleh di dengar oleh orang ketiga.
Hukum bahkan memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan dan kerahasiaan komunikasi, lewat surat misalnya dengan ketentuan Pasal 234 KUHP. Pasal ini mengancam dengan hukuman penjara paling lama satu tahun empat bulan kepada siapa saja yang membuat surat tidak sampai ke alamatnya, membuka ataupun merusak surat apapun juga yang telah diserahkan ke kantor pos atau di serahkan ke kurir. Untuk kebebasan dan kerahasiaan pembicaraan melalui telpon, perlindungan diberikan melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Komunikasi dalam Pasal 22, Pasal 40, dan Pasal 56.
Menurut pasan 22 UU tersebut diatas, setiap orang yang tidak berhak dilarang untuk mengakses jaringan ataupun jasa telkomunikasi. Sementara itu Pasal 40 secara tegas melarang kegiatan penyadapan informasi yang disalurkan melalui jaringan telkomunikasi dalam bentuk apapun. Pasal 56 memberikan perlindungan dari kegiatan penyadapan dengan mengancamkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun bagi mereka yang melakukannya.
Meskipun ada undang-undang yang secara tegas melarang perbuatan yang merupaka gangguan terhadap kemerdekaan dan kerahasiaan berkomunikasi, tetapi dalam hal tertentu pihak yang telah diberikan kewenangan oleh undang-undang dapat melakukan penyitaan surat dan penyadapan telepon seperti yang tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) Butir e dan Butir j KUPH.
g. Hak untuk Bebas dari Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawai, Merendahkan Derajat dan Martabat Kemanusiaan
Berbagai instrumen HAM dan hukum secara tegas melarang tindakan penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Pada pasal 5 DUHAM dan Pasal 7 ICCPR juga menyatakan hal yang sama, dengan tambahan secara khusus memberikan perhatian pada larangan menjadikan seseorang sebagai objek eksperimen medis atau ilmiah tampa persetujuan yang diberikan secara bebas. Dalam lingkup nasional, Pasal 28 G Ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil dari amandemen kedua yang dilakukan pada tauhun 2000, telah pula mencantumkan hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat kemanusiaan. Namun bunyi pasal tersebut tidak selengkap sebagai mana yang ada pada dua instrumen yang disebut terlebih dahulu serta UU HAM.
Tindakan-tindakan yang masuk kedalam kelompok hak yang disebutkan di atas, dapat dilakukan oleh siapapun dan ruanglingkupnya yany cukup luas. Akan tetapi, dari devenisi yang diberikan oleh Konverensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (converention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang telah dirativikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1988, nampak ada penyempitan pengertian khususnya untuk penganiayaan. Penganiayaan hanya dibatasi untuk tujuan memperoleh informasi dan pengakuan sehingga tidak salah apabila penganiayaan disini lebih banyak dikaitkan dengan tindakan aparat penegak hukum ketika melakukan proses pemeriksaan perkara pidana.
h. Hak Untuk Bebas Dari Penghilangan Paksa dan Penghilangan Nyawa
Berdasarkan devinisi tentang penghilangan paksa yang terdapat dalam Pasal 33 Ayat (2) UU HAM, kita dapat memasukkan tindakan-tindakan penculikan ke dalam pelanggaran atas hak untuk bebas dari penghilangan paksa. Untuk penghilangan nyawa banyak sekali contoh kejadian sehari-hari yang dapat dikemukakan, sebab setiap penghilangan nyawa yang dilakukan sewenang-wenang tanpa berdasarkan keputusan pengadilan akan dapat masuk kategori pelanggara hak atas kebesasan dari penghilangan nyawa.
Dalam instrumen hukum terutama KUHP memang telah memberikan perlindungan kepada setiap orang untuk bebas dari penghilangan paksa, antara lain melalui ketentuan tentang kejahatan penculikan (Pasal 328 KUHP). Pasal ini mengancam hukuman pidana penjara selama-lamnya 12 tahun, siapa saja yang melakukan tindak pidana penculikan.
Penghilangan nyawa atau biasa disebtu dengan pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tanpa putusan pengadilan, itu adalah perbuatan yang melanggar norma agama, susila maupun hukum. Pembunuhan yang dilakukan secara sewenang-wenang dengan alasan apapun tidak dibenarkan dan juga merupakan suatu kejahatan. Dalam KUHP secara tegas dicantumkan beberapa pasal yang masuk dalam Bab Kejahatan Terhadap Nyawa, antara lain Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP. Pasal-pasal berikut mengancam dengan hukumn penjara 15 tahun untuk pembunuhan tanpa perencanaan terlebih dahulu (Pasal 338 KUHP), dan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau 20 tahun untuk pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP).
Dengan melihat tingginya hukuman yang diancamkan kita dapat menyimpulkan betapa tinggi dan berharganya nyawa itu dilindungi. akan tetapi, dalam hal-hal tertentu sebagai konsekuensi dari perbuatannya sendiri yang melakukan pelanggaran hukum mungkin akan mengalami penghilangan nyawa. Hal ini menjadi satu pengecualian dan harus berdasarkan putusan pengadilan. Jadi, apabila seseorang melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan pengadilan menjatuhkan hukuman mati, maka hukuman mati padanya itu sah dan tidak melanggar hukum.
i. Hak untuk Tidak Ditangkap, Ditahan, Disiksa, Dikucilkan, Diasingkan atau Dibuat Secara Sewenang-Wenang.
Ada kalanya seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan aturan dalam masyarakat, tetapi hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hapus ataupun hilang. Sesuai keduduknannya sebagai manusia yang dilahirkanmerdeka dan bermartabat, maka ia tiak boleh diperlakukan semena-mena.
Dalam memproses orang yang melakukan kejahatan dalam masyarakat, aparat penegak hukum melalui hukum acara pidana diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan dan juga melakukan tindakan-tindakan yang dapat melanggar hak asasi warganya. Namun, hukum acara pidana ini sekaligus membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga negara yang terlibat dalam proses peradilan. Ketentuan pasal ini sejalan dengan bunyi Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 34 UU HAM. Ketentuan tentang penangkapan (Pasal 17-19 KUHAP), penahanan (Pasal 20-30 KUHAP), praperadilan (Pasal 77-83 KUHAP), serta ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 95, 96, 97 KUHAP) secara tegas memberikan perlindungan tersebut.
j. Hak Hidup dalam Tatanan Masyarakat dan Kenegaraan yang Damai, Aman dan Tentram, yang Menghormati, Melindungi dan Melaksanakan Sepenuhnya HAM dan Kewajiban Daar Manusian.
Manusia pada dasarnya memiliki seperangkat hak yang disebut sebagai hak asasi manusia. Negara, yang telah diberikan mandat untuk mengatur dan mengelola segala potensi yang ada berkewajiban untuk mengupayakan penghormatan, perlindungan dan pelaksanaan HAM. Selain memiliki hak asasi, manusia juga memiliki kewajiban dasar dan hal yang juga tidak dapat di abaikan bahwa negara harus mengatur rakyatnya agar melaksanakan kewajibannya sebagai manusia. dengan cara seperti itu, diharapkan agar dapat terwujud keamanan, kedamainan danketentraman yang merupakan dambaan manusia.
Hak yang terakhir dari kelompok hak atas rasa aman menurut UU HAM ini tidak ditemukan secara eksplisit dalam instrumen-instrumen internasional HAM maupun UUD 1945. Hak ini memeng begitu luas jangkauannya dan sangat ideal sifatnya. Bila kita menyimpulkan, sesungguhnya hak yang dijamin Pasal 33 UU HAM adalah tujuan akhur dari diberikannya hak asasi kepada manusia.
Dari paparan di atas terlihat bahawa hak atas rasa aman termasuk keamanan fisik, psikis dan juga harta benda seseorang yang harus dilindungi dari gangguan pihak lain. Perlindungan atas hak ini diberikan melalui hukum , terutama dalam memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar hak atas rasa aman seseorang.
Upaya permenuhan perlindungan dan penegakan hak atas rasa aman ini merupakan tanggung jawab aparat penegak hukum, terutama polisi yang berperan secara langsung dari permasalahan ini. Akan tetapi kita juga tidak boleh mengabaikan peran serta masyarakat, baik secara informal dalam bentuk penjagaan dilingkungan masing-masing ataupun dalam bentuk formal seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Hak atas keamanan pribadi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh saksi dan korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 (yang biasa disebut Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban). Jika dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hak atas keamanan prbadi merupakan salah satu kategori dalam hak atas rasa aman. Perlindungan hak atas keamanan pribadi yang dibutuhkan oleh saksi dan korban dalam proses peradilan pidana adalah rasa aman yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 UU HAM pada saat memberikan kesaksiannya selama proses peradilan.
Pada dasarnya hak atas rasa aman memeng berkaitan dengan tidak adanya gangguan dan rasa takut. Singkatmna, hak tersebut berkaitan erat dengan ketentraman dan ketenangan yang selayaknya yang dimiliki oleh setiap manusia dalam menjalani kehidupannya dalam masyarakat. Untuk memahami hak atas rasa aman, Undang-Undang Hak Asasi Manusia menjabarkan lebih jauh lagi dalam 10 jenis hak, yaitu:
a. Hak Untuk Mencari Suaka Politik dan Untuk Memperoleh Perlindungan Politik dari Negara Lain.
Pendapat dan kritik tentang penyelenggaraan pemerintahan di suatu negara sesungguhnya menjadi suatu hal yang wajar dan lumrah. Oleh karena hal tersebut merupakan masukan bagi pemerintah. Akan tetapi tidak jarang kritikan yang dilontarkan terhadap kebijakan pemerintah dianggap sebagai upaya menggulingkan pemerintah. Sebagai ‘lawan’ dari penguasa, tidak heran bila mereka yang melakukan hal tersebut mendapat tekanan dan dapat dituduh sebagai pelaku kejahatan terhadap negara dan pemerintah, yang ancaman hukumannya yaitu penjara, bahkan mungkin sampai hukuman mati.
Orang-orang yang ‘terancam’ oleh penguasa ini sesungguhnya dapat mencari suaka politik guna mencari perlindungan politik dari negara lain. Hal ini merupakan salah satu hak asasinya. Maka mereka harus diberi kebebasan untuk pergi ke kedutaan besar negara lain atau pergi ke negara lain untuk meminta perlindungan. UUD 1945 menjamin hak mereka ini dalam Pasal 28 G Ayat (2) dan kemudian ditegaskan pada UU HAM Pasal 28 (1). Meskipun ada pembatasan yang diberikan undang-undang ini dalam ayat (2) dari pasal yang sama, bahwa hak untuk mencari suaka politik itu tidak diberikan kepada mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan perinsip PBB.
Jadi, untuk meminta suaka politik hanya diperuntukkan bagi kejahatan-kejahatan politik, yaitu yang berkaitan dengan perbedaan pendapat mengenai ideologi yang memungkinkan diberi perlindungan. Sementara yang bersifat nonpolitik, yaitu yang bersifat kriminal misalnya, menghilangkan nyawa, merampas harta milik orang lain dan lain sebagainya, tidak dimungkinkan untuk diberi hak semacam itu.
b. Hak atas Perlindungan Diri Pribadi, Keluarga, Martabat dan Hak Miliknya.
Hak ini semakin mengintegritaskan manusia, karena dalam hak ini menegaskan bahwa diri (pribadi), keluarga, kehormatan, dan hak milik seseorang harus dilindungi. Hal ini yang menjadi perundingan dalam pasal ini adalah kepentingan-kepentingan yang mendapat prioritas perlindungan dalam hukum. Perlindungan khusus dalam bentuk peraturan pidana, yang sanksinya memungkinkan untuk seseorang kehilangan harta, kebebasan ataupun kehilangan nyawanya.
Dalam instrumen internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 12 dan 17 Ayat (2) maupun di International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 17 Ayat (1) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum, instrumen HAM dan hukum dalam negeri, yaitu Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang telah diamandemen dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia tentu saja juga meniliki ketentuan yang melindungi kepentingan-kepentingan yang telah diakui secara universal tersebut. Setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya. Bahkan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu dalam bentuk memberikan ancaman hukuman terhadap perbuatan yang dianggap undangt-undang ini sebagai kejahatan karena merugikan orang lain.
Untuk perlindungan terhadap diri sendiri dan keluarga, adanya seperangkat ketentuan tentang kejahatan kerhadap nyawa, seperti pembunuhan ( Pasal 338 – Pasal 349) jelas dapat menjadi landasan hukum untuk memberikan perlindungan yang diharapkan.
Dari uraian diatas, kita bisa menihat bahwa dalam hukum materiil telah ada sejumlah ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap diri sendiri, keluarga, martabat, kehormatan dan hak milik. Perlindungan-perlindungan ini ternyata merupakan hak setiap orang yang ada di Indonesia, tidak terbatas pada warga negara saja. Dengan adanya ketentuan-ketentuan ini, aparat hukum memiliki tugas untuk memproses setiap bentuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut.
c. Hak Aaas Pengakuan di Depan Hukum Sebagai Manusia Pribadi Dimana Saja Berada
Sejumlah hak yang dibawah manusia sejak lahir sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, akan sulit diimplementasikan apabila belum ada hukum yang secara tegas mengakuinya. Dalam negara yang sangat menjunjung tinggi idioligi demikrasi, hukum menjadi landasan setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengakuan sebagai manusia pribadi di depan hukum dimanapun ia berada, menurut Pasal 6 DUHAM, merupakan hak setiap orang. Bahkan oleh Pasal 7 DUHAM yang telah diakui sebagai norma internasional ini, ditambahkan bahwa semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Sebagai negara hukum, Indonesia seperti yang telah dinyatakan dalam UUD 1945, mengakui kesamaan kedudukan dimuka hukum bagi segala warga negara (Pasal 27). Berdasarkan amandemen kedua, kemudian dicantumkan pada Pasal 28 D Ayat (1) yang memperluas dan mempertegas hak ini. Pasal-pasal tersebut pada intinya menytakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dimuka hukum. Disamping itu, ditegaskan bahwa hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat di hilngkan atau dihapuskan dalam keadaan apapun.
UU HAM, sebagai organik secara tegas mencantumkan hak ini dalam Pasal 29 Ayat (2). Ketentuan ini seharusnya menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum dalam memperlalukan setiap orang.
d. Hak atas Rasa Aman dan Tentram serta Perlindungan Terhadap Ancaman Ketakutan untuk Berbuat atau Tidak Berbuat Sesuatu
Manusia tak mungkin hidup sendiri. Sudah menjadi kodratnya ia harus hidup bersama-sama dengan manusia yang lain., karena ia mempunya berbagai keperluan dasar yang hanya dapat dipenuhi apabila ia hidup secara bermasyarakat. Akan tetapi, kehidupan bermasyarakat penuh denga friksi dan benturan kepentingan antara satu individu dengan individu yang lain, yang kemudian dapat berkembang menjadi suatu konflik. Hal ini disebabkan oleh sifat dasar manusia yang cenderung mementingkan dirinya sendiri dan ingin berkuasa. Oleh seban itulah, sering muncul tindak kesewenang-wenangan dari pihak yang merasa kuat dan berkuasa terhadap pihak yang lain yang lemah dan takberdaya. Untuk mencapai keinginannya, pihak yang kuat menggunakan berbagai macam cara, misalnya mengancam, sehingga pihak yang lemah menjadi ketakutan untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu. Dalam kondisi ini tentunya tidak ada rasa aman dan tentram pada diri pihak yang lemah . mereka melakukan sesuatu dalam keadaan ketakutan, bahkan ada kalanya mereka berbuat sesuatu tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 30 UU HAM menyatakan secara tegas bahwa hak ini dimiliki oleh setiap orang. Pasal 28 G Ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan hal yang serupa. Sebagai jamina pelaksanaan hak ini, KUHP telah memuat sejumlah pasal yang melarang dan mengancam dengan sanksi hukuman penjara bila seseorang mengancam orang lain untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Misalnya, seseorang yang memaksa orang lain untuk tidak memberikan kesaksian yang sebenar-benarnya. Dalam contoh ini sudah jelas bahwa korban adalah orang yang dipaksa tersebut. Namun ada kalanya pihak ketiga yang dituju oleh pemaksa dan untuk itu ia memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan yang masuk dalam kategori kejahatan. Orang yang terpaksa melakukan kejahatan ini juga mendapat perlindungan hukum melalui ketentuan Pasal 48 KUHP. Pasal ini secara tegas mengatakan bahwa orang yang melakukan kejahatan karena adanya daya paksa tidak dapat dipidana, tapi justru orang memaksanya itulah yang akan dipidana.
e. Hak untuk Tidak Diganggu Tempat Kediamannya
Disamping sandang dan pangan, rumah atau tempat kedaman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai tempat berteduh. Pada umumnya, rumah menjadi tempat sebagian orang menghabiskan sisa waktunya setelah seharian berada diluar rumah untuk bekerja mencari nafkah, sekolah ataupun melakukan aktifitas lainnya. Jadi rumah atau tempat kediaman merupakan tempat yang harus dapat memberikan rasa aman dan tentram bagi mereka yang menempatinya. Hal ini secara tegas di sebutkan dalam DUHAM dan ICCPR. Pada Pasal 12 DUHAM dan Pasal 17 Ayat (1) dan (2) ICCPR menyatakan bahwa tidak seorangpun yang boleh diganggu dengan sewenang-wenang dalam urusasn rumha dan setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum bila terjadi gangguan atau serangan terhadap tempat tinggalnya.
Dalam UUD 1945 memang tidak ada pasal yang secara tegas menyebutkan hak untuk tidak diganggu dalam rumahnya. Akan tetapi, sebagai hasil amandemen kedua Pasal 28 G Ayat (1) memberikan hak kepada setiap orang atau perlindungan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya. Jadi, UUD 1945 justru lebih luas dalam memberikan perlidungan, tidak hanya rumah saja yang dapat diberikan perlindungan. Setiap harta benda yang berda di bawah kekuasaannya juga mendapatkan perlindungan yang serupa.
Penambahan Pasal 28 G, yang masuk dalam bab tentang HAM memang dilakukan untuk penyelarasan, karena sebelumnya UU HAM telah mencantumkan berbagai hak asasi manusia, yang salah satunya adalah hak untuk tidak diganggung tempat kediamannya (Pasal 31). Penjelasan Pasal 31UU HAM menyatakn bahwa kata “ tidak boleh diganggu” berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya. Jadi, penjelasan pasal ini menyiratkan bahwa ruang lingkup hak ini sangat sempit. Sebaliknya, ketika kita membaca rumusan Pasal 31 akan diperoleh kesimpulan yang berbeda, yaitu fokus perhatian tidak semata-mata tertuju pada kehidupan pribadi, tetapi pada tempat kediaman dan rasa aman yang harus dimiliki oleh setip orang.
Sebagai salah satu contoh sebagai salah satu ketentuan hukum yang memberikan perlindungan pada hak ini adalah Pasal 167 KUHP yang menjelsakan secara tegas mengancam dengan hukumna penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-, bila orang tanpa hak masuk dengan paksa kedalam rumah, ruang tertutup dan tudak segera pergi ketika diminta pergi oleh yang berhak atau atas nama orang yang berhak. Bahkan, hukuman untuk kejahatan yang biasa disebut dengan pelanggaran hak kebebasan rumah tangga (huisvredebruik) ini dapat diperberat menjadi pidana penjara satu tahun empet bulan bila pelaku mengeluarkan ancaman atau memakai daya upaya yang menakutkan.
Ketentuan Pasal 167 KUHP ini sejalan dengan makna ketentuan Pasal 31 Ayat (2) UU HAM, yang hanya memperbolehkan seseorang memasuki kediaman atau rumah tanpa seizin orang yang mendiaminya bila telah ditentukan oleh undang-undang.
f. Hak untuk Berhubungan Surat Menyurat termasuk Hubungan Berkomunikasi Melalui Sarana Elektronik secara Merdekan dan Rahasia
Pada masa sekarang ini, berbagai keperluan dapat dilakukan dari jarak jauh dengan menggunakan/memanfaatkan sarana-sarana komunikasi baik surat menyurat maupun sarana elektronik demi menghemat waktu, tenaga, dan juga biaya. Berbagai mcam urusan yang bersifat pribadi, kekeluargaan, bisnis, sampai urusan antar kepala negara, tidak jarang dilakukan tanpa harus bertemu langsung. Oleh karena itu, merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan hak asasi untuk berkomunikasi ini juga lengkap dengan memberikan rasa aman untuk melakukan komunikasi tersebut secara merdeka dan rahasia.
Pasal 12 DUHAM dan Pasal 17 Ayat (1) dan (2) ICCPR menyatakan dengan tegas bahwa tidak seorangpun dapat diganggu secara sewenang-wenang dalam hubungan surat menyurat. Khusus untuk Indonesia dalam UUD 1945 sampai dengan amandemen yang keempat, tidak dijumpai ketentuan yang seperti itu. Padaha dalam masalah komunikasi, UUD 1945 dalam Pasal 28 F telah memberikan hak untuk berkomunikasi pada semua orang. Sementara UU HAM, dalam Pasal 32 menjamin kemerdekaan dan kerahasiaan dalam hubungan surat menyurat termasuk hubungan berkomunikasi melalui sarana elektronik, kecuali ada perintah hakim ataukekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi, pada dasarnya surat milik seseoang tidak boleh dibuka dan diambil oleh orang lain yang tidak berhak, ataupun pembicaraan telepon seseorang dengan orang lain tidak boleh di dengar oleh orang ketiga.
Hukum bahkan memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan dan kerahasiaan komunikasi, lewat surat misalnya dengan ketentuan Pasal 234 KUHP. Pasal ini mengancam dengan hukuman penjara paling lama satu tahun empat bulan kepada siapa saja yang membuat surat tidak sampai ke alamatnya, membuka ataupun merusak surat apapun juga yang telah diserahkan ke kantor pos atau di serahkan ke kurir. Untuk kebebasan dan kerahasiaan pembicaraan melalui telpon, perlindungan diberikan melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Komunikasi dalam Pasal 22, Pasal 40, dan Pasal 56.
Menurut pasan 22 UU tersebut diatas, setiap orang yang tidak berhak dilarang untuk mengakses jaringan ataupun jasa telkomunikasi. Sementara itu Pasal 40 secara tegas melarang kegiatan penyadapan informasi yang disalurkan melalui jaringan telkomunikasi dalam bentuk apapun. Pasal 56 memberikan perlindungan dari kegiatan penyadapan dengan mengancamkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun bagi mereka yang melakukannya.
Meskipun ada undang-undang yang secara tegas melarang perbuatan yang merupaka gangguan terhadap kemerdekaan dan kerahasiaan berkomunikasi, tetapi dalam hal tertentu pihak yang telah diberikan kewenangan oleh undang-undang dapat melakukan penyitaan surat dan penyadapan telepon seperti yang tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) Butir e dan Butir j KUPH.
g. Hak untuk Bebas dari Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawai, Merendahkan Derajat dan Martabat Kemanusiaan
Berbagai instrumen HAM dan hukum secara tegas melarang tindakan penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Pada pasal 5 DUHAM dan Pasal 7 ICCPR juga menyatakan hal yang sama, dengan tambahan secara khusus memberikan perhatian pada larangan menjadikan seseorang sebagai objek eksperimen medis atau ilmiah tampa persetujuan yang diberikan secara bebas. Dalam lingkup nasional, Pasal 28 G Ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil dari amandemen kedua yang dilakukan pada tauhun 2000, telah pula mencantumkan hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat kemanusiaan. Namun bunyi pasal tersebut tidak selengkap sebagai mana yang ada pada dua instrumen yang disebut terlebih dahulu serta UU HAM.
Tindakan-tindakan yang masuk kedalam kelompok hak yang disebutkan di atas, dapat dilakukan oleh siapapun dan ruanglingkupnya yany cukup luas. Akan tetapi, dari devenisi yang diberikan oleh Konverensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (converention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang telah dirativikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1988, nampak ada penyempitan pengertian khususnya untuk penganiayaan. Penganiayaan hanya dibatasi untuk tujuan memperoleh informasi dan pengakuan sehingga tidak salah apabila penganiayaan disini lebih banyak dikaitkan dengan tindakan aparat penegak hukum ketika melakukan proses pemeriksaan perkara pidana.
h. Hak Untuk Bebas Dari Penghilangan Paksa dan Penghilangan Nyawa
Berdasarkan devinisi tentang penghilangan paksa yang terdapat dalam Pasal 33 Ayat (2) UU HAM, kita dapat memasukkan tindakan-tindakan penculikan ke dalam pelanggaran atas hak untuk bebas dari penghilangan paksa. Untuk penghilangan nyawa banyak sekali contoh kejadian sehari-hari yang dapat dikemukakan, sebab setiap penghilangan nyawa yang dilakukan sewenang-wenang tanpa berdasarkan keputusan pengadilan akan dapat masuk kategori pelanggara hak atas kebesasan dari penghilangan nyawa.
Dalam instrumen hukum terutama KUHP memang telah memberikan perlindungan kepada setiap orang untuk bebas dari penghilangan paksa, antara lain melalui ketentuan tentang kejahatan penculikan (Pasal 328 KUHP). Pasal ini mengancam hukuman pidana penjara selama-lamnya 12 tahun, siapa saja yang melakukan tindak pidana penculikan.
Penghilangan nyawa atau biasa disebtu dengan pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tanpa putusan pengadilan, itu adalah perbuatan yang melanggar norma agama, susila maupun hukum. Pembunuhan yang dilakukan secara sewenang-wenang dengan alasan apapun tidak dibenarkan dan juga merupakan suatu kejahatan. Dalam KUHP secara tegas dicantumkan beberapa pasal yang masuk dalam Bab Kejahatan Terhadap Nyawa, antara lain Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP. Pasal-pasal berikut mengancam dengan hukumn penjara 15 tahun untuk pembunuhan tanpa perencanaan terlebih dahulu (Pasal 338 KUHP), dan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau 20 tahun untuk pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP).
Dengan melihat tingginya hukuman yang diancamkan kita dapat menyimpulkan betapa tinggi dan berharganya nyawa itu dilindungi. akan tetapi, dalam hal-hal tertentu sebagai konsekuensi dari perbuatannya sendiri yang melakukan pelanggaran hukum mungkin akan mengalami penghilangan nyawa. Hal ini menjadi satu pengecualian dan harus berdasarkan putusan pengadilan. Jadi, apabila seseorang melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan pengadilan menjatuhkan hukuman mati, maka hukuman mati padanya itu sah dan tidak melanggar hukum.
i. Hak untuk Tidak Ditangkap, Ditahan, Disiksa, Dikucilkan, Diasingkan atau Dibuat Secara Sewenang-Wenang.
Ada kalanya seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan aturan dalam masyarakat, tetapi hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hapus ataupun hilang. Sesuai keduduknannya sebagai manusia yang dilahirkanmerdeka dan bermartabat, maka ia tiak boleh diperlakukan semena-mena.
Dalam memproses orang yang melakukan kejahatan dalam masyarakat, aparat penegak hukum melalui hukum acara pidana diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan dan juga melakukan tindakan-tindakan yang dapat melanggar hak asasi warganya. Namun, hukum acara pidana ini sekaligus membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga negara yang terlibat dalam proses peradilan. Ketentuan pasal ini sejalan dengan bunyi Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 34 UU HAM. Ketentuan tentang penangkapan (Pasal 17-19 KUHAP), penahanan (Pasal 20-30 KUHAP), praperadilan (Pasal 77-83 KUHAP), serta ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 95, 96, 97 KUHAP) secara tegas memberikan perlindungan tersebut.
j. Hak Hidup dalam Tatanan Masyarakat dan Kenegaraan yang Damai, Aman dan Tentram, yang Menghormati, Melindungi dan Melaksanakan Sepenuhnya HAM dan Kewajiban Daar Manusian.
Manusia pada dasarnya memiliki seperangkat hak yang disebut sebagai hak asasi manusia. Negara, yang telah diberikan mandat untuk mengatur dan mengelola segala potensi yang ada berkewajiban untuk mengupayakan penghormatan, perlindungan dan pelaksanaan HAM. Selain memiliki hak asasi, manusia juga memiliki kewajiban dasar dan hal yang juga tidak dapat di abaikan bahwa negara harus mengatur rakyatnya agar melaksanakan kewajibannya sebagai manusia. dengan cara seperti itu, diharapkan agar dapat terwujud keamanan, kedamainan danketentraman yang merupakan dambaan manusia.
Hak yang terakhir dari kelompok hak atas rasa aman menurut UU HAM ini tidak ditemukan secara eksplisit dalam instrumen-instrumen internasional HAM maupun UUD 1945. Hak ini memeng begitu luas jangkauannya dan sangat ideal sifatnya. Bila kita menyimpulkan, sesungguhnya hak yang dijamin Pasal 33 UU HAM adalah tujuan akhur dari diberikannya hak asasi kepada manusia.
Dari paparan di atas terlihat bahawa hak atas rasa aman termasuk keamanan fisik, psikis dan juga harta benda seseorang yang harus dilindungi dari gangguan pihak lain. Perlindungan atas hak ini diberikan melalui hukum , terutama dalam memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar hak atas rasa aman seseorang.
Upaya permenuhan perlindungan dan penegakan hak atas rasa aman ini merupakan tanggung jawab aparat penegak hukum, terutama polisi yang berperan secara langsung dari permasalahan ini. Akan tetapi kita juga tidak boleh mengabaikan peran serta masyarakat, baik secara informal dalam bentuk penjagaan dilingkungan masing-masing ataupun dalam bentuk formal seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM).
0 komentar:
Posting Komentar