Resume Hukum Perikatan Dan Kontrak
1.1 Perikatan
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
1. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Perjanjian, " het verbintenissenrecbt" (bahasa Belanda), jadi verbintenissenrecht oleh Wirjono diterjemahkan menjadi hukum perjanjian, bukan hukum perikatan.
2. R.Subekti tidak menggunakan istilah hukum perikatan, tetapi menggunakan istilah perikatan sesuai dengan judul Buku III KUH Perdata tentang perikatan. Dalam bukunya-Pokok-Pokok Hukum Perdata, R. Subekti menulis perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab di dalam Buku III KUH Perdata memuat tentang perikatan yang timbul dari :
• persetujuan atau perjanjian
• perbuatan yang melanggar hukum
• pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarnemiing)
Pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatari dapat terjadi karena :
1. perjanjian (kontrak), dan
2. bukan dari perjanjian (dari undang-undang).
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari per¬janjian ini maka timbulah suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini yang dinamakan dengan perikatan.
1.2 Dasar Hukum Perikatan
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang.
Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi menjadi dua, yakni perikatan terjadi karena undang-undang semata dan perikatan terjadi karena undang-undang akibat dari perbuatan manusia.
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata, misalnya kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak, yaitu hukum kewarisan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang bertentangan dengan hokum (tidak sah).
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (pnrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
1.3 Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme.
1.3.1 Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 JCUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
1.3.2 Asas Konsensuaiisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:
1. Kata sepakat antara parl pihak yang mengikatkan diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut. Dengan demikian, kata sepakat tersebut dapat dibatalkan jika terdapat unsur-unsur penipuan, paksaan, daakekhilafan. Di dalam Pasal 1321 KUH Perdata dinyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan atau di-perolehnya dengan paksaan/penipuan.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak hams cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan udak di bawah pengampuan.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, se-hingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi dari perjanjian itu harus mem-punyai tujuan (causa} yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau keterriban umum.
Dengan demikian, jika dilihat dari syarat-syarat sahnya suatu per¬janjian maka dapat dibedakan menjadi dua bagian dari suatu per¬janjian, yaitu bagian inri dan bagian bukan inti.
a. Bagian inti (ensensial)
Bagian inri (ensensial) adalah bagian yang sifatnya harus ada di dalam perjanjian. Jadi, sifat ini yang menenrukan atdu menyebabkanperjanjian itu tercipta.
b. Bagian bukan inti
Bagian bukan inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia.
1. Naturalia adalah sifat yang di bawa oleh perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacad dalam benda yang akan dijual.
2. Aksidentialia adalah sifat melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak.
1.4 Wansprestasi
Sementara itu, wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia alpa (lalai) atau ingkar janji. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni:
1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi ridak sebagaimana yang dijanjikan;
3. melakukan apa yang di/anjikan tetapi terlambat;
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
1.5 Akibat-Akibat Wansprestasi
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi).
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni:
a. biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang ke-punyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor;
c. bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh krediton
1. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjiaii atau pemecahan perjanjian bertujuan mem-bawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak sudah rnenerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang rnaka harus dikembalikan sehingga perjanjian itu ditiadakan,
2. Peralihan risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban uiituk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata. Oleh karena itu, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang itu se-menjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungari (risiko) si berpiutang (pihak yang berhak menerima barang).
1.5.1 Jenis-Jenis Risiko
Jenis-jenis risiko dapat digolongkan menjadi dua kategori, yakni risiko dalam perjanjian sepihak dan risiko dalam perjanjian timbal balik:
1. Risiko dalam perjanjian sepihak
Risiko dalam perjanjiaii sepihak diatur dalam Pasal 1237 KUH Perdata, yakni risiko ditanggung oleh kreditur.
2. Risiko dalam perjanjian timbal balik
Risiko dalam perjanjian timbal balik terbagi menjadi tiga kategori, yakni risiko dalam jual beli, risiko dalam tukar-menukar, dan risiko dalam sewa menyewa.
a. Risiko dalam jual beli diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata, yakni risiko yang ditanggung oleh pembeli.
b. Risiko dalam tukar menukar diatur dalam Pasal 1545 KUH Perdata, yakni risiko yang ditanggung oleh pemilik barang.
c. Risiko dalam sewa menyewa, diatur dalam Pasal 1553, yakni risiko yang ditanggung oleh pemilik barang.
1.5.2 Membayar Biaya Perkara
Berdasarkan Pasal 181 Ayat 1 Herziene Indonesisch Reglement (H.I.R.) pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara, sedangkan dalam Pasal 1267 KUH Perdata menyebutkan kepada pihak yang merasa bahwa perjanjiannya tidak dipenuhi diberi kewenangan untuk memilih.
Sementara itu, seorang debitor yang dituduh lalai, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman. Dalam hal ini ada tiga kategori, yakni:
1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur)
Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur), yakni pihak debitor memmjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkaaoleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di mana ia ridak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Keadaan memaksa, yakni suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor serta memaksa dalam arti debitor terpaksa tidak dapat menepati janjinya.
Membuktikan adanya keadaan memaksa adalah kewajiban si debitur, berdasarkan Pasal 1244 KUH Perdata debitor tidak akan dihukum untuk membayar ganti rugi apabila ia membuktikan bahwa hal tidak dilaksanakan perjanjian adalah disebabkan oleh keadaan memaksa (force majeur).
2. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditor) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractits).
Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditor) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus), merupakan suatu hukum yurisprudensi adalah peraturan hukum yang telah diciptakan oleh para hakim. Dalam setiap perjanjian timbal balik dianggap ada suatu asas bahwa kedua pihak hams sama-sama melakukan kewaji-bannya. Tlap-tiap pihak dapat menyatakan kepada pihak lawanya, “jangan menggangap saya lalai, kalau kamu sendiri juga sudah melalaikah kewajibanmu “.
3. Pelepasan hak (rechtvenverking)
Pelepasan hak (rechtverwerking) merupakan suatu sikap pihak kreditor dari mana pihak debitor boleh menyimpulkan bahwa kreditor itu sudah tidak akan menuntut ganti rugi.
1.6 Hapusnya Perikatan
Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut:
a. pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela;
b. penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c. pembaharuan utang;
d. perjumpaaan utang atau kompensasi;
e. percampuran utang;
f. pembebasan utang;
g. musnahnya barang yang terutang;
h. batal/pembatalan;
i. berlakunya suatu syarat batal;
j. lewat waktu.
1.7 Memorandum of Understanding (MoU)
Merupakan perkembangan baru dalam aspek hukum dalam ekonomi, karena di Indonesia istilah MoU baru akhir-akhir ini dikenal.Menurut pendapat Munir Faudi, memorandum of understanding merupakan terjemahan bahasa Indo¬nesia yang paling pas dan paling dekat dengan nota kesepakatan.
Pada hakikatnya memorandum of understanding merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail.
Asas kekebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. menentukan bentuk perjanjian, tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut:
a. harus memenuhi syarat sebagai kontrak;
b. tidak dilarang oleh undang-undang;
c. tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku;
d. harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Kedudukan yuridis suatu memorandum of under standing terdapat dua perbedaan pendapat adalah sebagai berikut:
a. Pendapat yang mengatakan bahwa memorandum of understand-inghznyz merupakan agreementgentlementy artinya hanya pengikat moral tanpa kewajiban hukum untuk memenuhinya.
b. Pendapat yang mengatakan bahwa sekali suatu perjanjian dibuat apa pun bentuknya, lisan ataupun tertulis, pendek atau panjang, lengkap/ detail ataupun hanya diatur yang pokok-pokoknya saja, tetap merupakan perjanjian, sehingga kekuataan pengikat memorandum ofunderstandingyzng kedudukannya sama dengan perjanjian biasa.
1.7.1 Ciri-Ciri Memorandum of Understanding
a. isinya ringkas, sering kali hanya satu halaman saja;
b. berisikan hal-hal yang pokok-pokok saja;
c. hanya bersifat pendahuluan saja, yang akan diikud oleh perjanjian lain yang lebih rinci;
d. mempunyai jangjka waktu berlakunya (1 bulan, 6 bulan atau setahun); apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindak lanjuti dengan penandatanganan suatu perjanjian yang lebih rinci, maka perjanjian tersebut akan batal, kecuali diperpanjang oleh para pihak;
e. dibuat dalam bentuk perjanjian bawah tangan;
f. tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang lebih detail.
1.7.2 Alasan-Alasan
Alasan-alasan dibuatnya memorandum of understanding adalah sebagai berikut:
a. Karena prospek bisnishya belum jelas sehingga belum bisa dipastikan. Untuk menghindari kesulitan dalam hal pembatalan suatu agreement dibuatlah memorandum of understanding yang mudah dibatalkan.
b. Karena dianggap penandatanganan kontrak masih lama dengan negosiasi yang alot, dibuadah memorandum of "understandingyang akan berlaku untuk sementara waktu.
c. Karena tiap-tiap pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan perlu waktu dalam menandatangani suatu kontrak, sehingga untuksementara dibuatlah memorandum of understanding,
d. Memorandum of understanding dibuat dan ditanda tangani oleh para eksekutif dari suatu perusahaan maka perlu suatu perjanjian yang lebih rinci yang dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf-staf yang berkaitan.
1.7.3 Tujuan Memorandum of Understanding
Di dalam suatu perjanjian yang didahului dengan membuat memorandum of understanding dimaksudkan supaya memberikan kesempatan kepada pihak yang bersepakat untuk memperhitungkan apakah saling menguntungkan atau tidak jika diadakan kerja sama, sehingga agar memorandum of understanding dapat ditindaklanjuti dengan perjanjian dan dapat diterapkan sanksi-sanksi. Jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, tetapi jika sanksi-sanksi sudah di-cantumkan dalam memorandum of understanding akan berakibat bertentangan dengan hukum perjanjian/ perikatan, karena dalam memorandum of understanding belum ada suatu hubungan hukum antara para pihak, yang berarti belum mengikat.
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
1. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Perjanjian, " het verbintenissenrecbt" (bahasa Belanda), jadi verbintenissenrecht oleh Wirjono diterjemahkan menjadi hukum perjanjian, bukan hukum perikatan.
2. R.Subekti tidak menggunakan istilah hukum perikatan, tetapi menggunakan istilah perikatan sesuai dengan judul Buku III KUH Perdata tentang perikatan. Dalam bukunya-Pokok-Pokok Hukum Perdata, R. Subekti menulis perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab di dalam Buku III KUH Perdata memuat tentang perikatan yang timbul dari :
• persetujuan atau perjanjian
• perbuatan yang melanggar hukum
• pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarnemiing)
Pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatari dapat terjadi karena :
1. perjanjian (kontrak), dan
2. bukan dari perjanjian (dari undang-undang).
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari per¬janjian ini maka timbulah suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini yang dinamakan dengan perikatan.
1.2 Dasar Hukum Perikatan
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang.
Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi menjadi dua, yakni perikatan terjadi karena undang-undang semata dan perikatan terjadi karena undang-undang akibat dari perbuatan manusia.
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata, misalnya kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak, yaitu hukum kewarisan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang bertentangan dengan hokum (tidak sah).
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (pnrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
1.3 Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme.
1.3.1 Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 JCUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
1.3.2 Asas Konsensuaiisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:
1. Kata sepakat antara parl pihak yang mengikatkan diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut. Dengan demikian, kata sepakat tersebut dapat dibatalkan jika terdapat unsur-unsur penipuan, paksaan, daakekhilafan. Di dalam Pasal 1321 KUH Perdata dinyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan atau di-perolehnya dengan paksaan/penipuan.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak hams cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan udak di bawah pengampuan.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, se-hingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi dari perjanjian itu harus mem-punyai tujuan (causa} yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau keterriban umum.
Dengan demikian, jika dilihat dari syarat-syarat sahnya suatu per¬janjian maka dapat dibedakan menjadi dua bagian dari suatu per¬janjian, yaitu bagian inri dan bagian bukan inti.
a. Bagian inti (ensensial)
Bagian inri (ensensial) adalah bagian yang sifatnya harus ada di dalam perjanjian. Jadi, sifat ini yang menenrukan atdu menyebabkanperjanjian itu tercipta.
b. Bagian bukan inti
Bagian bukan inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia.
1. Naturalia adalah sifat yang di bawa oleh perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacad dalam benda yang akan dijual.
2. Aksidentialia adalah sifat melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak.
1.4 Wansprestasi
Sementara itu, wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia alpa (lalai) atau ingkar janji. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni:
1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi ridak sebagaimana yang dijanjikan;
3. melakukan apa yang di/anjikan tetapi terlambat;
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
1.5 Akibat-Akibat Wansprestasi
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi).
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni:
a. biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang ke-punyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor;
c. bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh krediton
1. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjiaii atau pemecahan perjanjian bertujuan mem-bawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak sudah rnenerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang rnaka harus dikembalikan sehingga perjanjian itu ditiadakan,
2. Peralihan risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban uiituk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata. Oleh karena itu, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang itu se-menjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungari (risiko) si berpiutang (pihak yang berhak menerima barang).
1.5.1 Jenis-Jenis Risiko
Jenis-jenis risiko dapat digolongkan menjadi dua kategori, yakni risiko dalam perjanjian sepihak dan risiko dalam perjanjian timbal balik:
1. Risiko dalam perjanjian sepihak
Risiko dalam perjanjiaii sepihak diatur dalam Pasal 1237 KUH Perdata, yakni risiko ditanggung oleh kreditur.
2. Risiko dalam perjanjian timbal balik
Risiko dalam perjanjian timbal balik terbagi menjadi tiga kategori, yakni risiko dalam jual beli, risiko dalam tukar-menukar, dan risiko dalam sewa menyewa.
a. Risiko dalam jual beli diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata, yakni risiko yang ditanggung oleh pembeli.
b. Risiko dalam tukar menukar diatur dalam Pasal 1545 KUH Perdata, yakni risiko yang ditanggung oleh pemilik barang.
c. Risiko dalam sewa menyewa, diatur dalam Pasal 1553, yakni risiko yang ditanggung oleh pemilik barang.
1.5.2 Membayar Biaya Perkara
Berdasarkan Pasal 181 Ayat 1 Herziene Indonesisch Reglement (H.I.R.) pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara, sedangkan dalam Pasal 1267 KUH Perdata menyebutkan kepada pihak yang merasa bahwa perjanjiannya tidak dipenuhi diberi kewenangan untuk memilih.
Sementara itu, seorang debitor yang dituduh lalai, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman. Dalam hal ini ada tiga kategori, yakni:
1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur)
Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur), yakni pihak debitor memmjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkaaoleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di mana ia ridak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Keadaan memaksa, yakni suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor serta memaksa dalam arti debitor terpaksa tidak dapat menepati janjinya.
Membuktikan adanya keadaan memaksa adalah kewajiban si debitur, berdasarkan Pasal 1244 KUH Perdata debitor tidak akan dihukum untuk membayar ganti rugi apabila ia membuktikan bahwa hal tidak dilaksanakan perjanjian adalah disebabkan oleh keadaan memaksa (force majeur).
2. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditor) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractits).
Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditor) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus), merupakan suatu hukum yurisprudensi adalah peraturan hukum yang telah diciptakan oleh para hakim. Dalam setiap perjanjian timbal balik dianggap ada suatu asas bahwa kedua pihak hams sama-sama melakukan kewaji-bannya. Tlap-tiap pihak dapat menyatakan kepada pihak lawanya, “jangan menggangap saya lalai, kalau kamu sendiri juga sudah melalaikah kewajibanmu “.
3. Pelepasan hak (rechtvenverking)
Pelepasan hak (rechtverwerking) merupakan suatu sikap pihak kreditor dari mana pihak debitor boleh menyimpulkan bahwa kreditor itu sudah tidak akan menuntut ganti rugi.
1.6 Hapusnya Perikatan
Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut:
a. pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela;
b. penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c. pembaharuan utang;
d. perjumpaaan utang atau kompensasi;
e. percampuran utang;
f. pembebasan utang;
g. musnahnya barang yang terutang;
h. batal/pembatalan;
i. berlakunya suatu syarat batal;
j. lewat waktu.
1.7 Memorandum of Understanding (MoU)
Merupakan perkembangan baru dalam aspek hukum dalam ekonomi, karena di Indonesia istilah MoU baru akhir-akhir ini dikenal.Menurut pendapat Munir Faudi, memorandum of understanding merupakan terjemahan bahasa Indo¬nesia yang paling pas dan paling dekat dengan nota kesepakatan.
Pada hakikatnya memorandum of understanding merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail.
Asas kekebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. menentukan bentuk perjanjian, tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut:
a. harus memenuhi syarat sebagai kontrak;
b. tidak dilarang oleh undang-undang;
c. tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku;
d. harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Kedudukan yuridis suatu memorandum of under standing terdapat dua perbedaan pendapat adalah sebagai berikut:
a. Pendapat yang mengatakan bahwa memorandum of understand-inghznyz merupakan agreementgentlementy artinya hanya pengikat moral tanpa kewajiban hukum untuk memenuhinya.
b. Pendapat yang mengatakan bahwa sekali suatu perjanjian dibuat apa pun bentuknya, lisan ataupun tertulis, pendek atau panjang, lengkap/ detail ataupun hanya diatur yang pokok-pokoknya saja, tetap merupakan perjanjian, sehingga kekuataan pengikat memorandum ofunderstandingyzng kedudukannya sama dengan perjanjian biasa.
1.7.1 Ciri-Ciri Memorandum of Understanding
a. isinya ringkas, sering kali hanya satu halaman saja;
b. berisikan hal-hal yang pokok-pokok saja;
c. hanya bersifat pendahuluan saja, yang akan diikud oleh perjanjian lain yang lebih rinci;
d. mempunyai jangjka waktu berlakunya (1 bulan, 6 bulan atau setahun); apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindak lanjuti dengan penandatanganan suatu perjanjian yang lebih rinci, maka perjanjian tersebut akan batal, kecuali diperpanjang oleh para pihak;
e. dibuat dalam bentuk perjanjian bawah tangan;
f. tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang lebih detail.
1.7.2 Alasan-Alasan
Alasan-alasan dibuatnya memorandum of understanding adalah sebagai berikut:
a. Karena prospek bisnishya belum jelas sehingga belum bisa dipastikan. Untuk menghindari kesulitan dalam hal pembatalan suatu agreement dibuatlah memorandum of understanding yang mudah dibatalkan.
b. Karena dianggap penandatanganan kontrak masih lama dengan negosiasi yang alot, dibuadah memorandum of "understandingyang akan berlaku untuk sementara waktu.
c. Karena tiap-tiap pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan perlu waktu dalam menandatangani suatu kontrak, sehingga untuksementara dibuatlah memorandum of understanding,
d. Memorandum of understanding dibuat dan ditanda tangani oleh para eksekutif dari suatu perusahaan maka perlu suatu perjanjian yang lebih rinci yang dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf-staf yang berkaitan.
1.7.3 Tujuan Memorandum of Understanding
Di dalam suatu perjanjian yang didahului dengan membuat memorandum of understanding dimaksudkan supaya memberikan kesempatan kepada pihak yang bersepakat untuk memperhitungkan apakah saling menguntungkan atau tidak jika diadakan kerja sama, sehingga agar memorandum of understanding dapat ditindaklanjuti dengan perjanjian dan dapat diterapkan sanksi-sanksi. Jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, tetapi jika sanksi-sanksi sudah di-cantumkan dalam memorandum of understanding akan berakibat bertentangan dengan hukum perjanjian/ perikatan, karena dalam memorandum of understanding belum ada suatu hubungan hukum antara para pihak, yang berarti belum mengikat.
0 komentar:
Posting Komentar