Perdata Lanjuta

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Dewasa ini, yang membuat gelisah sebagian besar masyarakat yang bersengketah apakah itu tanah, rumah dan lain sebagainya itu adalah ketika pihak yang memenangkan sengketa lahan itu bersama pihak yang berwenang bersama-sama melakukan eksekusi lahan.
Selama ini mengenai esekusi banya orang yang menyalah artikan, implementasi yang dilakukan juga banyak yang tidak sesuai dengan prosedur yang sebenarnya. Sehingga mereka yang merasa dirugikan dengan  dilakukannya eksekusi yang dilakukan secara brutal itu harus membuat barikade perlawanan terhadap eksekutor.
Dalam hal ini telah terbukti bahwa masyarakat belum sepenuhnya mengetahui atri yang sebenarnya dan proses sebuah eksekusi dan apakah eksekusi yang selama ini dilakukan oleh masyarakat luas itu mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dipertanggung jawabkan?
Dari latar belakang diatas, maka kami selaku penulis merasa perlu membahas masalah eksekusi guna memberikan pengetahuan lebih bagi orang yang merasa perlu mengetahui apa eksekusi dalam arti hukum.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Eksekusi
Menurut M. Yahya H.  adalah merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.
Menurut Prof.R. Subekti adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).
Menurut Djazuli Bachar adalah Melaksanakan putusan pengadilan, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan secara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi.
Menurut R. Supomo adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan.
B.   Sumber Hukum Eksekusi
Hal menjalankan putusan hakim diatur dalam bahagian kelima mulai pasal-pasal 195 s. d. 224 HIR atau Stb. 1941 No. 44 yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, sedang untuk daerah diluar pulau Jawa dan Madura digunakan bahagian keempat pasal-pasal 206 s.d. 25 RBg atau Stb. 1927 No. 227. Peraturan ini tidak hanya mengatur tentang menjalankan eksekusi putusan pengadilan saja akan tetapi juga memuat pengaturan tentang upaya paksa dalam eksekusi yakni sandera, sita eksekusi, upaya lain berupa perlawanan (Verzet) serta akta otentik yang memiliki alasan eksekusi yang dipersamakan dengan putusan yakni akta grosse hipotik dan surat hutang dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
            Dalam Undang-undang (darurat) No. 1 tahun 1951 tidak terdapat perkecualian terhadap berlakunya hukum acara perdata sehingga berlakulah penuh kedua Undang-undang mengenai acara perdata.
            Cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi diatas diatur mulai pasal 195 sampai pasal 224 HIR, namun pada saat sekarang tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku secara efektif. Yang masih benar-benar berlaku efektif terutama pasal 195 sampai pasal 208 dan pasal 224 HIR. Sedangkan pasal 209 sampai pasal 222 HIR yang mengatur tentang “Sandera”, tidak lagi diperlakukan secara efektif. Seorang debitur yang dihukum “Disandera” sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan.
            Surat Edaran Mahkamah Agung No.2/1964 tanggal 22 Januari 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04/1975 tanggal 1 Desember 1975 membekukan keberlakuan pasal 209 sampai dengan pasal 222 HIR, karena sandera bertentangan dengan salah satu sila dari dasar falsafah negara Indonesia, yaitu bertentangan dengan sila Prikemanusiaan, salah satu dari Pancasila. Oleh karena itu berdasarkan Surat Edarannya diatas Sandera dilarang untuk diperlakukan (vide putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Pebruari 1975 Reg. No. 951 K/Sip/1974, termuat dalam “DIAN YUSTISIA’, Pengadilan Tinggi Bandung, 1978, hal. 378-382).
            Selain peraturan peraturan di atas masih ada peraturan lain yang dapat menjadi dasar penerapan eksekusi yaitu :
1.    Undang-undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, pasal 33 ayat (4) yaitu tentang kewajiban hukum yang bersendikan norma-norma moral, dimana dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya prikemanusiaan dan prikeadilan tetap terpelihara.
2.    Pasal 33 ayat (3) UU No. 14 tahun 1970 juncto pasal 60 UU No. 2 tahun 1985 tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa yang melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata adalah panitera dan jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan. 
3.    Mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama  diatur dalam Stb.1982 No. 152 pasal 2 ayat (5) menyatakan, sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan biasa tentang menjalankan keputusan-keputusan Pengadilan Umum dalam perkara ini dan Stb. 1937 No. 63-639, pasal 3 ayat (5) alinea 3 berbunyi, sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan menjalankan keputusan Sipil Pengadilan Negeri (Peraturan Pemerintah No. 45/1957 pasal 4 ayat (5) dan pasal-pasal lain yang berhubungan).
4.    Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan pasal 5 dinyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi.
5.    SEMA No. 4 Tahun 1975 menyatakan bahwa penyanderaan ditujukan pada orang yang sudah tidak mungkin lagi dapat melunasi hutang-hutangnya dan kalau disandera dan karena itu kehilangan kebebasan bergerak, ia tidak lagi ada kesempatan untuk berusaha mendapatkan uang atau barang-barang untuk melunasi hutangnya.

C.    Asas-Asas Eksekusi
1.    Menjalankan putusan yang telah berkekuatan Hukum Tetap.
Tindakan eksekusi biasanya baru menjadi suatu masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak Tergugat, dalam tahap eksekusi kedudukannya menjadi pihak tereksekusi. Sedang bila pihak Penggugat yang kalah dalam perkara pada lazimnya, bahkan menurut logika tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara. Pihak penggugat bertindak selaku pihak yang meminta kepada pengadilan agar pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan suatu barang, mengosongkan rumah atau sebidang tanah, melakukan sesuatu, menghentikan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Salah satu hukuman seperti itulah yang selalu terdapat dalam putusan, apabila gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan dan harus dipenuhi dan ditaati pihak tergugat sebagai pihak yang kalah. Oleh karena itu bila kita berbicara mengenai eksekusi putusan adalah tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat  kepada tergugat.
Tidak terhadap semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial, artinya tidak terhadap semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi adalah putusan yang belum dapat dijalankan. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dapat dijalankan.
Pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi adalah Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud  hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu  mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (Pihak tergugat) baik secara sukarela maupun secara paksa dengan  bantuan kekuatan umum.
Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa, selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang  tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela
Pengecualian terhadap asas ini dimana eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun  putusan tersebut  belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap berdasarkan Undang-undang adalah :
a.    Pelaksanaan Putusan lebih dahulu  
Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh  kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih  dahulu, sekalipun terhadap putusan  itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi.
Syarat-syarat yang ditetapkan untuk mengabulkan putusan serta merta jumlahnya terbatas dan jelas tidak bersifat imperatif.  Syarat-syarat itu berupa :
1.    Adanya  akta otentik atau tulisan tangan yang menurut Undang-undang    mempunyai   kekuatan bukti.
2.    Ada putusan  lain yang sudah ada dan sudah mempunyai kekuatan hukum pasti.
3.    Ada  gugatan provisi yang dikabulkan.
4.    Sengketa yang ada sekarang mengenai bezitsrecht.

b.    Pelaksanaan Putusan Provisi
Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengemal putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu  yang bersifat  sementara mendahului  putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan  provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus (mendahului).
c.    Akta Perdamaian
Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR akta perdamaian yang dibuat dipersidangan oleh hakim dapat dijalankan eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka sejak tanggal lahirnya akta perdamaian telah melekat pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak merupakan putusan pengadilan yang memutus sengketa.
d.    Eksekusi terhadap Grosse Akta
Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang  dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.
2.    Putusan  Tidak dijalankan secara Sukarela.
Dua cara menjalankan isi putusan, yaitu :
a.     Secara sukarela
Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan.  Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun, menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena pihak tergugat dengan sukarela  memenuhi isi putusan kepada penggugat, berarti  isi putusan telah selesai dilaksanakan maka  tidak diperlukan lagi tindakan paksa kepadanya (eksekusi). 
Untuk  menjamin pelaksanaan isi putusan  secara sukarela maka hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara sukarela dengan disaksikan dua orang saksi yang dilaksanakan ditempat putusan tersebut dipenuhi  dan   ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan para pihak sendiri (Penggugat dan  Tergugat). Maksudnya agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan  pegangan oleh hakim. Keuntungan  menjalankan amar putusan  secara sukarela adalah terhindar dari pembebanan biaya eksekusi dan kerugian moral.
b.     Menjalankan putusan dengan jalan eksekusi
Terjadi bila pihak yang kalah tidak mau menjalankan amar putusan secara sukarela,  sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut eksekusi agar pihak yang kalah  dalam hal ini tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan.
Pengadilan dapat mengutus jurusita Pengadilan untuk  melakukan eksekusi bahkan  bila diperlukan dapat  dimintakan  bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus ditanggung oleh tergugat adalah harus membayar biaya  eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal, disamping itu dia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit.
3.    Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator
Maksud putusan yang bersifat kondemnator adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “Penghukuman”, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung  unsur penghukuman tidak dapat  dieksekusi (Non-eksekutabel).
     Menurut sifatnya amar atau diktum  putusan dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu :
a)    Putusan Condemnator, yaitu  yang amar putusannya berbunyi    “ Menghukum dan seterusnya”;
b)    Putusan Declarator, yaitu yang amar putusannya menyatakan suatu keadaan sebagai sesuatu keadaan yang sah menurut hukum,  dan
c)    Putusan yang Konstitutif, yaitu   yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.
Putusan yang bersifat kondemnator biasanya terwujud  dalam perkara yang berbentuk Contentiosa (kontentiosa) dengan ciri-ciri :
1.
2.

3.
Berupa sengketa atau perkara yang bersifat partai
Ada pihak penggugat  yang bertindak mengajukan gugatan  terhadap pihak tergugat, dan
Proses pemeriksaannya berlangsung secara Contradictoir, yakni pihak penggugat dan tergugat mempunyai hak untuk sanggah menyanggah.

4.     Eksekusi  atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR yaitu jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh  satu Pengadilan Negeri, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan  Negeri yang bersangkutan. Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau jurusita  berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang dituangkan dalam  bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut  Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat  sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan tampak  jelas dan terinci batas-batas eksekusi yang  akan dijalankan oleh jurusita  dan panitera, disamping hakim akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi tersebut.
D.   MACAM-MACAM EKSEKUSI
1.    Eksekusi yang  diatur dalam pasal 196 HIR dan seterusnya dimana Seorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
Apabila seseorang enggan untuk  dengan sukarela memenuhi bunyi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka apabila sebelum putusan dijatuhkan telah  dilakukan sita jaminan, maka  sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial. Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim dan  ditambah semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.
Apabila sebelumnya belum dilakukan  sita jaminan, maka eksekusi dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak, apabila tidak cukup juga barang-barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk membayar  jumlah  uang yang harus dibayar  menurut putusan beserta biaya-biaya pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini disebut sita eksekutorial.
2.    Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR, dimana Seorang dihukum untuk Melaksanakan suatu perbuatan.
Pasal 225 HIR mengatur tentang beberapa hal mengadili perkara  yang istimewa. Apabila sesorang dihukum untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu tetapi ia tidak mau melakukannya maka hakim tidak dapat memaksa terhukum untuk melakukan pekerjaan tersebut, akan tetapi hakim dapat menilai perbuatan tergugat dalam jumlah uang, lalu tergugat dihukum untuk membayar sejumlah  uang untuk mengganti pekerjaan yang harus dilakukannya berdasarkan putusan hakim terdahulu. Untuk menilai besarnya penggantian ini adalah wewenang Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Dengan demikian maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain perkataan putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perubahan putusan ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negri yang  memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak didalam sidang terbuka.
3.    Eksekusi riil yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam HIR
Perihal ini tidak diatur dalam HIR pasal 200 ayat(11) yang mengatur lelang menyebut eksekusi  riil.
“ Jika perlu dengan pertolongan Polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya serta olah sanak saudaranya.”
Pasal ini memberi petunjuk sedikit tentang bagaimana eksekusi riil harus dijalankan. Pengosongan dilakukan oleh jurusita apabila perlu dibantu oleh beberapa anggota Polisi atau anggota Polisi Militer, apabila yang dihukum untuk melakukan pengosongan rumah  itu anggota ABRI misalnya.
Meskipun eksekusi riil tidak diatur secara baik dalam HIR, eksekusi riil sudah lazim dilakukan, oleh karena dalam praktek sangat diperlukan.
  BAB III
PENUTUP
 
A.   Kesimpulan
Eksekusi merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Pengaturan tentang upaya paksa dalam eksekusi yakni sandera, sita eksekusi, upaya lain berupa perlawanan (Verzet) serta akta otentik yang memiliki alasan eksekusi yang dipersamakan dengan putusan yakni akta grosse hipotik dan surat hutang dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

0 komentar:

Posting Komentar